Setelah ‘Tak Ada Lagi’ Amien Rais

Pada Pemilu 2009, inilah saatnya Muhammadiyah memberikan kader terbaiknya kepada bangsa Indonesia yang sudah lama mengalami defisit pemimpin. Inilah peluang Din Syamsudin, sebagai kader (terbaik?) dan ketua umum Muhammadiyah tersebut menduduki predikat orang nomor satu.

TANWIR Muhammadiyah di Lampung 5-8 Maret 2009 merupakan perhelatan terakhir Muhammadiyah era Din Syamsuddin. Tanwir itu berbeda dengan tanwir-tanwir sebelumnya. Tanwir 2009 tidak
hanya membahas soal kemaslahatan tetapi juga keterkaitan Muhammadiyah dengan politik praktis. Apalagi, kalau bukan momentum 9 April (Pemilu 2009) dan 9 Juli (Pilpres RI ke-7).
Diakui atau tidak, ketimbang dengan gerakan politik, citra Muhammadiyah lebih lekat sebagai gerakan organisasi sosial-keagamaan. Di masa rezim Orde Lama, secara resmi Muhammadiyah diakui sebagai organisasi kemasyarakatan yang memiliki fungsi politik riil.

Aktivitas politik itu berlangsung masih melalui partai Islam yang dimotori Partai Masyumi. Pascabubarnya partai Islam masa Orde Lama ini, peran politik Muhammadiyah cenderung menurun dengan memberikan garis penekanan terhadap kegiatan amaliah yang bersifat keumatan.

Tampaknya, hal ini terkait dengan trauma politik masa lalu Muhammadiyah yang memberikan warna buram sejarah. Muhammadiyah yang memiliki basis massa heterogen secara sosial-politik, cukup rentan menghadapi kemungkinan terjadinya polarisasi internal. Kondisi politik ketat yang diterapkan pada masa Orde Baru juga tidak memungkinkan Muhammadiyah terjun ke dunia politik. Alhasil, fenomena politik Muhammadiyah makin tenggelam.

Tak Berpolitik

Garis prinsip Muhammadiyah sendiri adalah tidak berpolitik, sekaligus tidak antipolitik. Berpolitik hanyalah cara mencapai tujuan bagaimana kemaslahatan umat menjadi lebih baik secara dinamis, berkelanjutan, dan bergerak berdasarkan nilai-nilai keimanan. Secara khusus, ruang lingkup pandangan dan posisi politik Muhamadiyah adalah masyarakat.

Masyarakat menjadi wadah perjuangannya, meskipun Muhammadiyah memang bukan organisasi politik dan tidak akan pernah menjadi partai politik. Dalam hal ini, Muhammadiyah menempatkan diri secara sadar dalam tatanan sosial-masyarakat sebagai wadah dan ruang geraknya.

Pada kenyataannya, sebagai persyarikatan dan gerakan yang memiliki jaringan luas dan didukung oleh infrastruktur yang kokoh, Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik. Karena itu, politik bisa menjadi ladang dakwah potensial bagi Muhammadiyah.

Sebagai ormas yang menjadikan prinsip Islam sebagai ideologinya, Muhammadiyah menempatkan politik dalam bingkai empat prinsip, yakni: kesatuan dari akidah, akhlak, ibadah dan mualamah. Dengan begitu, politik praktis menjadi bagian-bagian kecil cita-cita Muhammadiyah tentang terbentuknya masyarakat ideal, “masyarakat utama” (al-Mujtama` al-Fadhilah).

Dalam proses yang demikian, syarat terpenuhinya “masyarakat utama” (al-Mujtama` al-Fadhil) Muhammadiyah harus menjadi besar, kukuh, dan mandiri secara politis. Karena itu, tidak bisa tidak, mesti memiliki bargaining position yang kuat di antara berbagai desakan, benturan, dan gesekan berbagai kepentingan yang berkecamuk di sekitarnya.

Di samping itu, cakupan ajaran Islam begitu luas dan menyeluruh, dan dimensi politik termasuk di dalamnya. Bisa dikatakan bahwa dunia politik merupakan sisi integral dari ajaran Islam, sekaligus menjadi aktivitas dakwah yang merujuk terhadap amaliah amar makruf nahi munkar dalam prinsip Muhammadiyah. Di sinilah politik sebagai wadah dakwah menjadi penting dan signifikan.

“Kegagalan” Amien Rais

Dalam kurun waktu yang panjang (melelahkan?) Muhammadiyah, hingga sekarang, belum satupun kader terbaik Muhammadiyah muncul menjadi pemimpin bangsa. Ini terasa aneh jika melihat Muhammadiyah yang konon sebagai ormas yang modernis dan gudangnya kaum intelektual.

Pascagagalnya Amien Rais menuju pucuk kursi nomor satu negeri ini, tidak ada lagi kader Muhammadiyah yang cukup mampu menyaingi tokoh reformasi itu, bahkan ada sinyalemen semakin melembek belaka.

Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan NU yang sudah memberikan tokoh terbaiknya menjadi milik bangsa dengan naiknya Abdurrahman Wahid menjadi presiden Indonesia. Lalu, kenapa tidak demikian halnya dengan Muhammadiyah?

Kegagalan Amien Rais dalam Pemilu 2004, teridentifikasi oleh kurang perhatiannya Amien pada partai-partai berbasis Islam. Dalam perjalanannya mencapai kursi kepresidenan tokoh reformasi ini lebih bersifat nasionalis, yang bahkan terlihat arogan. Kearoganan itu semakin tampak pada sikap Amien yang hanya akan maju jika menduduki orang nomor satu (baca: presiden).

Kurangnya jalinan hubungan baik dengan partai-partai berbasis Islam dan arogansi inilah yang membuat ia kurang mendapat simpati yang menyeluruh dari bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim, bahkan kurang mendapat simpati dari kalangan Muhammadiyah sendiri.

Pada Pemilu 2009, inilah saatnya Muhammadiyah memberikan kader terbaiknya kepada bangsa Indonesia yang sudah lama mengalami defisit pemimpin. Inilah peluang Din Syamsudin, sebagai kader (terbaik?) dan ketua umum Muhammadiyah tersebut menduduki predikat orang nomor satu.

Din yang dikenal sebagai tokoh yang kalem, adem-ayem dan tidak banyak gejolak, yang juga pandai menjalin hubungan antartokoh agama menjadi patut diperhitungkan, setelah kegagalan Amien Rais menjadi presiden. Bisa jadi, Din Syamsuddin juga merupakan solusi bagi kegagalan Gus Dur sebagai bapak demokrasi yang terlalu terbuka–dengan sejuta gejolak dan kontroversi–yang tak mujarab mengakhiri karut-marut bangsa ini. Wallahu a’lam bisshowab



M Mufti Mubarok

Wakil Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Jatim dan Alumni IPM Jawa Timur

Comments

Popular posts from this blog

Your Link Exchange

Forum ICITY: Transformasi Cara Berkomunikasi & Berbagi Solusi

Seberapa Cepat Loading Blog Anda?