Banyak Kekayaan Indonesia yang Dipatenkan di Jepang

Kapanlagi.com - Pakar hukum Dr Agus Sardjono SH MH menyatakan, cukup banyak kekayaan tradisional Indonesia, terutama jenis jamu-jamuan Jawa, yang kemudian tercatat dipatenkan di Jepang.

Sedikitnya ada 17 jenis obat tradisional yang sesungguhnya terlahir di Jawa, kemudian malah dibuatkan hak paten di Negeri Sakura, katanya di hadapan peserta seminar "Pengetahuan Tradisional & Folklore Sebagai Kekayaan Intelektual", di Sanur, Denpasar, Sabtu.

Pada seminar yang diprakarsai Pak Oles Center, Agus yang juga dosen pada Program PascaSarjana FH Universitas Indonesia itu, menyebutkan, selain di Jepang, kekayaan tradisional Indonesia, khususnya yang bernuansa seni ciptaan orang Bali, juga banyak yang dipatenkan di Amerika Serikat (AS).

Selain kekayaan tradisional Indonesia, beberapa potensi serupa yang ada di negara lain seperti India, juga sempat dipatenkan di AS.

Namun belakangan, beberapa yang sudah "diikat" AS itu, antara lain "Patent Turmeric Case (PTC)", digugat oleh The Council of Scientific and Industrial Research (CIR) India.

Akibat gugatan dari LSM di India tersebut, PTC akhirnya dibatalkan, ujar Agus, yang juga anggota tim pakar Kejaksaan Agung dan Komisi VIII DPR-RI.

Di hadapan peserta seminar yang dimoderatori PK Yanes Setat itu, Agus sempat mempertanyakan, kenapa kekayaan tradisional Indonesia begitu banyak dipatenkan di luar negeri ?. Kemudian dijawab sendiri, "Karena bangsa kita begitu `cuek` dengan kekayaan intelektual." Sejumlah kekayaan trasional Indonesia "pindah merk", sehubungan masyarakat tidak pernah peduli dengan hal itu. Ini selain karena faktor kultural, juga kekurangtahuan masyarakat tentang hak paten sebagai potensi ekonomi.

Secara kultural, kata Agus, masyarakat Indonesia memiliki ciri lebih mementingkan kebersamaan dari pada dirinya sendiri.

Itu sebabnya, banyak temuan tradisional dinyatakan sebagai karya orang banyak, bukan pribadi-pribadi.

Tari kecak, atau tari legong, yang terlahir di Bali, misalnya, sampai sekarang tidak tercatat ada orang yang mengaku sebagai penemu atau penciptanya. Masyarakat lebih mengenal tarian tersebut sebagai warisan turun-temurun.

Karenanya, lanjut dia, tak banyak temuan dan kekayaan tradisional yang kemudian diakui oleh warga Indonesia sebagai karyanya sendiri.

Ini artinya, masyarakat Indonesia lebih memandang sesuatu yang terlahir dari negeri ini sebagai warisan budaya, ketimbang karya individu.

Persoalan-persolan yang demikian itulah, yang antara lain kemudian membuat masyarakat tidak begitu tertarik untuk mempatenkan kekayaan tradisional yang selama ini menjadi milik dan karyanya, ucap Agus.

Sehubungan dengan itu, Agus mengharapkan pemerintah bekerja sama dengan LSM, mampu menggugah kesadarakn masyarakat, atau lembaga ini secara langsung dapat mengambil langkah-langkah bagi upaya paten terhadap karya-karya tradisional masyarakat Indonesia.

Melalui cara itu, potensi ekonomi yang sesungguhnya maha besar dari dunia paten ini, senantiasa tidak begitu saja lari ke luar negeri, ujar Agus, mengharapkan.

Seminar diikuti sekitar 100 peserta dari kalangan ahli hukum, obat tradisional, LSM dan sivitas akademika itu, dibuka Dr Ir IGN Wididana, pimpinan Pak Oles Center

Comments

Popular posts from this blog

Your Link Exchange

Forum ICITY: Transformasi Cara Berkomunikasi & Berbagi Solusi

Daftar 50 Promising University Indonesia