“Bulan” untuk Ayah

Seperti hari-hari yang lain, minggu-minggu yang lain, bulan-bulan yang lain, semenjak aku kelas 3 SD, hingga detik ini, hampir setiap sore setelah shalat Ashar aku akan berusaha menyempatkan datang ke tempat ini. Sebuah gubuk, agak reyot, di belakang rumah tepat menghadap sebuah sungai di desa kecilku. Gubuk yang di dalamnya telah kuabadikan begitu banyak kenangan. Di gubuk ini pula, dulu Ayah hampir setiap hari menceritakan masa mudanya, tentang pertemuan tak terduganya dengan ibuku, tentang kakek yang hilang pada masa PKI, dan tentang kearifan hidup dari beliau yang ku pendam dalam-dalam di dasar kalbuku. Hingga kini, dan selamanya akan tetap berada di sana. 
Sore ini, hujan telah reda dan telah undur diri bersama angin. Sebenarnya ini juga merupakan hujan pertama di musim penghujan, aku paham betul dari aroma ampo yang begitu semerbak menyejukkan yang telah kukenal bertahun-tahun hidup di sini. Hujan pertama yang bagiku begitu menentramkan setelah panas berkepanjangan, tentu saja. Kadang aku berfikir hujan tadi sebagai obat meradangnya bumi ini atas ulah manusia yang sak senengé déwé , yang mengeksploitasi sumber daya, mengaduk-aduk isi bumi untuk kepentingan perut segelintir orang saja, bukan untuk kepentingan anak-cucu ibu pertiwi kelak. Andai bisa bicara, mungkin bumi akan melakukan jumpa pers, batinku sesekali. Atau mungkin memanggil sekutu untuk melawan manusia seperti di film-film.Aku berjalan tanpa alas kaki menuju gubuk. Berjalan pelan sambil menikmati detik-detik yang mengingatkanku pada sosok Ayah, perasaan anak kepada Ayah yang dirindukan, perasaan yang masih butuh perlindungan, butuh kasih sayang. Rasanya aneh saja berjalan sendirian di sini. Biasanya beliaulah yang menjadi rekan seperjalanan menuju gubuk tersebut, sepanjang hidupnya. Kini tinggal diriku yang menjadi pengunjung setia, mungkin suatu saat aku akan mengajak anak-anakku ke sini, menceritakan padanya tentang Sang Kakek yang gagah berani, tentang perjuangan hidup untuk keluarganya. Tapi, ah mungkin itu terlalu jauh. Aku masih belum berfikir kesana sebelum studi kuliahku selesai.
Aku semakin dekat, gubuk ini tak seperti dulu lagi. Beberapa tiangnya terlihat mulai miring, menyalahi aturan konstruksi. Atapnya, anyaman alang-alang yang dulu rapi dan rapat (dulu kami buat bersama, setelah seharian mencari alang-alang di hutan perbatasan Ngawi) kini tak lebih dari bambu tua yang tersisa, itupun kelihatan rapuh sekali. Sesampai di gubuk, ku sentuhkan jari-jemariku di tiang terdekat, aku merinding, ku pandang lagi sekeliling gubuk ini, hampir tak ada yang berubah. Di sebelah kanan, agak ke kiri sedikit sebuah pohon mangga yang sudah cukup umur sampai enggan berbuah manis, selalu asam. Biasanya setelah hujan akan banyak burung prenjak yang menghabiskan sorenya di sana, diujung tertinggi, saling berebut perhatian dan unjuk kebolehan. Tak berbeda dengan sore ini, saat kutengadahkan ke atas, beberapa prenjak memang sedang dimabuk cinta, atau mungkin mereka juga merindukan kedatanganku disini setelah lama sekali penantian atas diriku beberapa tahun silam, dan inilah reuni kami, lintas generasi makhluk Allah. Homo Sapiens – Prenjak.
Di sebelah kiri gubuk, di sanalah pekarangan kami yang dulu dijual untuk pengobatan Ayah. Luasnya tak seberapa, namun cukup untuk membantu meringankan beban kami saat itu, tapi kini hanya tanah tandus tak terawat, aku bahkan tak pernah tahu siapa pembelinya. Dan di depan, tepat di depanku saat ini, terlihat dengan begitu anggun, meliuk-liuk sebuah sungai mirip “ular besar berwarna coklat” (karena air yang keruh, tentu saja) yang sangat terkenal dengan diciptakannya lagu untuk sungai ini oleh Alm. Gesang, “Bengawan Solo”.
Aku duduk, menurunkan tas punggungku, terdengar bunyi berderit. Aku hanya tersenyum simpul, mungkin beban tubuhku saat ini sudah jauh melampaui beban terakhir saat aku duduk di sini, beberapa tahun yang lalu.
Seperti tahun-tahun dan hari yang lalu pula, jika aku ke gubug ini aku akan selalu menyempatkan diri untuk menulis sesuatu, apapun. Karena menurut Ayah perintah Iqra’ dalam Al Qur’an tak hanya untuk membaca, melainkan lebih luas lagi, termasuk menulis dan beramal. Dan bagiku, ucapan-ucapan beliau adalah permata yang harus dilaksanakan sepenuh hati dan jiwa. Selain itu di sinilah tempat yang memberiku inspirasi untuk selalu menulis setiap hari. Aku keluarkan partner favorit untuk menulis dari dalam tas punggungku, sebuah Laptop. Merogoh dompet kecil, lalu ku ambil KTP beliau yang kusimpan rapi, ku pandang wajah itu dalam-dalam, wajah yang lelah dan bertanggung jawab semasa hidupnya, tak terasa titik-titik kecil dari mata ini mendesak keluar, tak bisa kutahan. Ku pejamkan mata sejenak, lalu sekelebat wajah beliau dengan senyumnya mendadak muncul di kepalaku. Aku rindu, benar-benar rindu. Tanganku mulai mengetik, sebuah puisi…
Bulan Untuk Ayah
Bersama anak panah
Yang meluncur ke bulan dari kedipan jiwaku
Ku sampaikan bait rindu akan hadirmu
Lewat kata yang tak terucap
Lewat hati yang teramat sepi

Beriring bintang dalam kemukus
Tentang bulan, bagimu yang benderang
Matahari bak lentera pertiwi
Demi malam yang menelan siang
Demi pagi yang merindukan senja
Sungguh bulan adalah karunia

Karena malam,
Engkau ajarkan aku tentang bulan
Tentang waktu dan kebijaksanaan

Demi waktu
Demi raja batara kala yang baru
Buatkan aku hari yang baru
Buatkan aku bulan yang baru
Agar tidak ada lagi nikmat-Mu yang kudustakan


Kemudian aku menyimpannya dengan sebuah nama “Bulan” untuk Ayah. Semoga pilihan judul ini tidak salah, inilah belajar, begitu aku selalu berprinsip.
Senja merayap, aku hampir lupa kalau hari sudah semakin sore, sudah saatnya aku kembali. Aku harus kembali lusa karena senin depan sudah masuk lagi. Selamat tinggal gubukku, suatu saat aku pasti kembali ke sini, pasti. Seperti kepastian akan datangnya kematian, seperti itulah aku akan selalu datang menujumu.
Aku baru berjalan beberapa langkah, saat HPku bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor yang belum kusimpan. “Jika kamu dapat memimpikannya, kamu dapat mewujudkannya – Walt Disney”. Aku hanya tersenyum geli membacanya, tapi tentu saja membenarkan. Sambil menggeleng aku menengok sekali lagi ke belakang, tersenyum, gubuk yang luar biasa. Dalam setiap langkah yang kuayunkan berikutnya, semua terasa ringan. Aku pasti bisa.

Comments

Popular posts from this blog

Your Link Exchange

Forum ICITY: Transformasi Cara Berkomunikasi & Berbagi Solusi

Seberapa Cepat Loading Blog Anda?