Kemiskinan, Filantropi Islam, dan Pemberdayaan Komunitas

Sang Pena - Filantropi Islam - Oleh : Eko Supriatno, S.IP, M.Pd, Pengajar pada Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Mathla’ul Anwar dan Ketua ICMI Orsat Labuan. Diskursus mengenai peran filantropi Islam (kedermawanan dalam Islam) kian hari semakin menarik untuk dikaji. Lebih lagi, di saat krisis ekonomi global yang terus menghantui perekonomian nasional kita. Apalagi, stagnasi atau bahkan bertambahnya jumlah angka kemiskinan dari tahun ketahun menunjukkan ketidakmampuan negara mensejahterakan rakyatnya.
Lebih lagi, terpaan krisis ekonomi yang ditandai naik­nya harga barang-barang kebutuhan pokok, dan tidak berimbangnya jumlah pen­­dapatan dengan pengeluaran yang seharusnya, menjadikan masya­rakat semakin sengsara dan terjepit. Akhirnya kadangkala tak peduli nyawa sebagai taru­han­nya, mereka tetap berjuang demi sesuap nasi hari ini. Pada kondisi seperti ini, seharusnya negaralah yang paling bertang­gungjawab.
Namun kita memahami sepe­nuhnya dengan apa yang telah terjadi dengan kemampuan negara ini. Belum lagi komplek­sitas persoalan yang mengitari­nya. Pada intinya, negara telah gagal membawa warganya ter­bebas dari kemiskinan yang per­manen. Di titik inilah, negara sangat membutuhkan ”aktor” lain yang bisa membantunya. Disinilah peran vital lembaga-lembaga filantropi Islam sangat dibutuhkan.
Beberapa pihak menilai bahwa krisis ekonomi Indonesia telah banyak menjadikan warganya ”kaum pengemis” di negeri sendiri. Tudingan ini dilatar­belakangi oleh semakin mening­kat­nya jumlah angka kemiskinan dan pengangguran sebagai akibat ketidakmampuan pemerintah dalam menangani negeri gemah ripah loh jinawi ini. Jeritan dan ratapan derita rakyat kecil tak per­nah menyentuh hati nurani para pemimpin untuk terus mem­perbaiki nasib mereka. Be­lum lagi, spiral krisis kini se­makin tak berujung dan belum ada titik terang untuk keluar darinya.
Keterpurukan ini dilengkapi la­gi dengan keserakahan, dimana semakin banyak orang-orang yang mendapatkan harta dari cara-cara tak halal dan meng­halalkan segala cara. Meluasnya tindak kejahatan korupsi tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya juga me­nam­bah krisis ini menjadi se­makin kompleks. Dalam situasi inilah filantropi Islam, lagi-lagi bisa mengambil peran yang cukup signifikan.
Di Indonesia, praktek filantropi Islam telah berakar kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia yakni dalam bentuk zakat, infaq, dan sedekah. Apalagi dengan situasi krisis moneter yang sam­pai kini masih terasa dan berbagai bencana alam yang datang silih ber­ganti telah menggairahkan dunia filantropi di Indonesia. Aktifitas lembaga-lembaga sosial ma­rak luar biasa, aliran bantuan uang dan barang pun tercatat men­capai triliunan rupiah. Khusus untuk filantropi Islam, lem­baga-lembaga Filantropi Islam selama hampir tiga dekade terakhir, hadir untuk menjawab masalah kemiskinan. Namun demikian, hanya sedikit yang men­coba mengatasi masalah ini dari akarnya.
Akar masalahnya ada dua. Pertama, pemahaman masya­rakat terhadap filantropi islam masih tradisional dan ber­orien­tasi karitatif. Penelitian CSRC telah mengkonfirmasi bahwa 90% lebih dana zakat dan sedekah dberikan secara langsung kepada penerima (mustahik). Dimana sebagian besar diperuntukkan bagi tujuan-tujuan konsumtif dan berjangka pendek.
Kedua, lembaga filantropi yang ada (Lembaga Amil Zakat atau LAZ/Badan Amil Zakat atau BAZ) tidak bersinergi dengan baik dan kurang menekankan pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan. Kita bisa bayangkan jika seluruh lembaga filantropi di tanah air ini bersatu dan bersinergi dalam bentuk program pengumpulan dan penyaluran dengan mene­tapkan skala prioritas bersama. Sungguh akan prestisius dan menakjubkan dampak yang akan diterima masyarakat.
Praktek filantropi islam seperti ini, selain karena faktor sosio-ekonomi, dimana banyak masyarakat yang tidak mampu di sekitar lingkungan tempat ting­gal mereka, juga karena memiliki dasar dalam ajaran agama yang menekankan pen­tingnya memberi sumbangan ke­pada kerabat dekat terlebih da­hulu. Hal ini mengakibatkan upaya mempromosikan lembaga-lem­baga perantara seperti lem­baga amil zakat permanen, belum mendapat sambutan dan keper­cayaan luas dari masyarakat.
Namun demikian, Dalam kurun waktu dua dekade belakangan ini, aktifitas Filantropi islam di Indonesia patut dibanggakan karena mengalami perkem­bangan yang signifikan. Per­kembangan ini ditandai dengan beberapa hal:
Pertama, meningkatnya an­tu­siasme ummat dalam ber­filan­tropi. Indikator utamanya adalah lahirnya sejumlah organisasi filantropi, bila dulu kita hanya mengenal Badan Amil Zakat, kini aktivitas itu menajdi ter­struktur dalam banyak lembaga intermediari baru yang pro­fesional. Misal Dompet Dhuafa (DD), Pos Keadilan peduli Umat (PKPU), Rumah Zakat, Tabung Wakaf, dan sebagainya.
Kedua, indikasi filantropisasi juga tampak jelas dalam me­ningkatnya kualitas dan kapasitas lembaga-lembaga yang menge­lola dana ZIS. Dengan tenaga muda terampil dan terdidik se­bagai pengelola dana ZIS, disertai dengan pemanfaatan teknologi maka dapat mening­katkan kemampuan pengga­langan maupun distribusi dana kepada para penerima. Belum lagi, belakangan ini pula, filan­tropi Islam juga disokong oleh dana sosial perusahaan atau corporate social responsibility. Dimana perusahaan itu tidak hanya bertanggung jawab pada pemegang saham perusahaan saja atau shareholder tetapi juga bertanggungjawab juga pada masyarakat sekelilingnya melalui kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukannya.
Aktifitas filantropi ini secara perlahan namun pasti mulai menemui momentumnya untuk bergerak menuju filantropi yang berkeadilan sosial. Yang dimak­sud dengan keadilan sosial disini adalah pemberian sumbangan kepada organisasi-organisasi non profit yang bekerja untuk mela­kukan perubahan-peru­bahan struktural meningkatkan peluang bagi semua orang, te­rutama bagi mereka yang ku­rang beruntung secara ekonomi, sosial dan politik (Brenda Hanzl dan John Hunsaker, Under­standing Social Justice Philanthropy).
Ke depan, seluruh aktivitas filantropi Islam harus lebih di­arah­kan kepada peng­arus­utamaan filantropi untuk pem­berdayaan komunitas yang integral dan berkelanjutan dalam rangka upaya pengentasan ke­miskinan. Filantropi untuk karitas seyogyanya mulai dikurangi porsinya, walau sama sekali tidak bisa ditinggalkan. Hal ini disebab­kan karena man­faat yang dihasil­kan­nya jauh lebih besar dan ber­orientasi jangka panjang. Is­tilahnya Filan­tropi Islam harus memberikan kail dan bukan ikannya.
Sebagai modal dasar mencapai keadilan sosial, maka lembaga-lembaga filantropi harus memiliki citra dan positioning yang tepat dan dapat dipertangungjwabkan kredibilitasnya. Untuk itu diper­lukan beberapa langkah sebagai berikut:
Pertama, perlunya membangun community Awareness melalui berbagai media komunikasi dengan memberikan beberapa contoh best practice filantropy yang telah mengubah kehidupan seseorang atau kelompok ma­sya­rakat dari kondisi yang mem­prihatinkan kearah yang hidup lebih baik. Cara ini dipandang cukup efektif dalam mengugah dan menyadarkan masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berderma.
Kedua, membangun citra lem­baga melalui peningkatan sum­ber daya manusia dan penge­lolaan dana yang dapat diper­tang­gunjawaban, transparan dan accountable serta dana filan­tropi berdaya guna bagi penerima manfaat (beneficiaries). Masyarakat yang sudah berderma akan merasa puas dan berkesan bahwa niat untuk membantu masyarakat yang kurang ber­untung sudah tercapai.
Ketiga, membangun Konsistensi sebagai lembaga yang inden­penden, objektif dan netralitas serta profesional dalam men­jalankan program-programnya. Biasanya si penderma atau masyarakat akan melihat lem­baga konsistensi dalam men­jalankan visi dan misi, lembaga dianggap opportunies akan ditingalkan.
Untuk merealisasikan seluruh agenda Filantropi untuk keadilan sosial di atas maka perlu diambil langkah-langkah strategis, diantaranya: Pertama, menya­tukan dan memantapkan per­sepsi, visi, misi dan model pem­berdayaan komunitas yang ter­integrasi dan berkelanjutan di antara stakeholder filantropi seperti pengurus LAZ/BAZ dan CSR yang sudah memiliki kegiatan pemberdayaan.
Kedua, meningkatkan wawasan dan skill para pengurus LAZ/BAZ dan CSR dalam menjalankan program pemberdayaan komu­nitas yang terintegrasi dan ber­kelan­jutan.
Ketiga, membangun kemitraan antara LAZ/BAZ dan CSR dalam rangka menjalankan program bersama pemberdayaan komu­nitas yang terintegrasi dan ber­kelanjutan.
Keempat, mentransfer model pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan kepada LAZ/BAZ dan CSR yang belum memiliki kegiatan pem­berdayaan.
Jika beberapa point diatas dapat direalisasikan dengan baik, diyakini betul filantropi untuk keadilan sosial melalui pem­berdayaan komunitas akan berjalan dengan baik dan meng­hasilkan manfaat yang berlipat ganda bagi masyarakat. Akhirnya kemiskinan dan keter­purukan akan mulai meninggal­kan kita menuju kesejahteraan dan kemakmuran. Amien. Sang Pena

Comments

  1. sungguh bagus tulisan-tulisan yang anda buat sob :) keren-keren, penuh inspiratif, jempol deh (y)
    lanjutin nulis-nulis di blognya sob :)
    salam blogger Pekanbaru !!

    ReplyDelete
  2. @Raziq Ahmed salam dari Blogger Kota Lumpia :) artikel ini hanya copas (tapi mencantumkan sumber) karena memang berkualitas :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar, yang sopan ya :) | Semua komentar akan dimoderasi.

Hendak diskusi dengan penulis, silakan via email di pena_sastra@yahoo.com. Terima kasih

Popular posts from this blog

Your Link Exchange

Forum ICITY: Transformasi Cara Berkomunikasi & Berbagi Solusi

Seberapa Cepat Loading Blog Anda?