344. Cerpen : Mencari Jalan Air Mata

mencari jalan air mata
Sang Pena - Cerpen - Oleh : Budi Sabarudin* (dimuat Harian SINDO 1 Juli 2012) Sudah tujuh tahun lelaki tampan dan gagah itu menjadi Presiden. Tapi selama tujuh tahun itu, dia tak bisa menangis lagi. Air matanya seperti sungai di musim kemarau yang panjang. Sangat tandus.

Dia juga merasakan di musim seperti itu daundaun terus berguguran. Demikian juga batangbatang pohonnya meranggas, rumput-rumput layu, tanahtanah berdebu, sawah-sawah retak, padi-padi mati, sumbersumber air mengering. Musim kemarau seperti itu sangat mengiris hatinya. Padahal sejak kecil, hati presiden mudah luluh dan air matanya mudah jatuh,jika melihat peristiwa-peristiwa yang mengharukan.

Begitu juga ketika dia mendengar orang mengaji di surau-surau atau di tajuk- tajuk: membaca Alquran. Air matanya langsung meleleh. Tapi sekarang ini,setelah tujuh tahun berlalu, sumber air dari dalam matanya itu betul-betul sudah habis. Namun sebagai manusia, presiden sangat merindukan air matanya. Dia membayangkan ketika air matanya memberiak, lalu bergulir perlahanlahan ke pipinya, kedua telapak tangannya akan menutup wajahnya sambil meraba air mata di pipinya itu dengan penuh perasaan.

Ah, tentu itu akan menjadi pengalaman yang sangat membahagiakan. “Tuhan, alangkah menderitanya aku, selama tujuh tahun tak bisa menangis. Bukankah setiap manusia itu perlu menangis agar hatinya menjadi lebih lega,agar jiwanya juga menjadi lebih sehat?” Presiden, yang mantan tentara itu membatin sambil mengelus dadanya. Dia berjalan menuju teras belakang Istana dengan langkah kaki yang lemah dan kurang semangat.

Di sekitar teras itu dihiasi dengan lampu taman, berbagai tanaman dan rumput-rumput serta pohonpohon yang hijau, besar, dan tinggi. Juga puluhan bunga yang berwarna-warni. Presiden duduk di kursi jati sambil menatap bulan yang pucat. Pada malam itu, presiden ingin sekali membaca karya sastra seperti puisi karya penyair- penyair besar, yang mengisahkan tentang kesedihan atau keharuan manusia.

Dibacanya salah satu puisi tentang penderitaan gadis kecil yang hidupnya terlunta-lunta menjadi pengemis. Tentu dengan penuh penghayatan. Tapi tak ada setitik air pun yang keluar dari matanya. Puisi yang ditulis dengan kata-kata terpilih dan puitis oleh penyairnya itu tak mampu menggugah hatinya. Dalam resah, dia berjalan menuju ruang tengah Istana yang sejuk. Dan ruangan itu juga sebagai tempat berkumpul bersama keluarganya tercinta, yakni bersama dua anak dan istrinya.

Dia menidurkan badan di sofa.Ingin istirahat sejenak. Namun, pikiran dan perasaannya terasa sangat lelah karena terlalu memikirkan matanya yang tak bisa menangis. Sebetulnya sudah banyak cara yang diambil presiden, untuk memecahkan masalahnya yang rumit itu. Salah satunya mengikuti saran psikolog agar menonton film-film dokumenter tentang sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan, dan film-film amatir yang mengisahkan tawuran antar kampung dan suku serta penembakan kaum sipil oleh aparat, atau film-film yang mengisahkan tentang orang hilang dan penculikan para aktivis.

Namun,dua bola matanya tetap saja kerontang.Padahal dalam film sejarah itu banyak sekali adegan kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan kaum penjajah.Atau film dokumenter infrastruktur khususnya tentang jembatan rusak yang masih digunakan anak-anak menyeberang baik berangkat maupun pulang sekolah. Suatu kali dia mendatangi seorang ulama besar,lalu menceritakan tentang kesulitan hidupnya, yaknimemilikimatatapitak bisa menangis.

Ulama itu kaget sekali dan berkata,“Menangis itu tak bisa dipisahkan dari hati. Peliharalah hatimu, Pak Presiden. Jangan sampai lemah,apalagi kotor. Hati juga harus terus diajak pada kebaikan,keramahan, ketulusan,dan pengorbanan agar lebih peka.” Pernah juga mendatangi seorang aktor hebat. Dia mengeluh dan minta diajarkan bagaimana caranya menangis, mengingat akan menghadiri acara pemakaman seorang tokoh politik yang berjasa pada bangsa dan negara. Lalu,diajarkanlah teknik-teknik menangis itu oleh sang aktor.

Namun,kursus singkat itu tak membuahkan hasil. Nyatanya, dalam acara pemakaman tokoh, yang diliputi dengan kesedihan itu, presiden tetap saja tidak mengeluarkan air matanya satu tetes pun. “Anda tahu, dalam pemakaman itu saya satu-satunya orang yang tidak menangis.Semua mata tertuju pada saya. Anda bisa membayangkan betapa malunya saya….” “Maaf Pak Presiden,semua kembali pada hati.Seorang aktor hebat bisa menangis di atas panggung karena bisa menghidupkan hatinya….”

Presiden menganggukanggukkan kepalanya.Ketika berbagai cara sudah ditempuh, namun selalu menemui jalan buntu, kini di malam yang sudah larut ini, matanya sudah ingin menangis.Namun,air matanya tak kunjung memberiak. Terpaksa dia memanggil dokter pribadinya karena tak bisa merahasiakan kelemahan sekaligus kesedihannya itu. Dia tak bisa lagi menanggung beban deritanya sendirian.

Presiden menyadari ternyata tak bisa menangis itu bukan persoalan kecil.Itu merupakan kemalangan yang sangat berat bagi batin dan hidupnya. “Dok, tolong saya,” pintanya, sambil menyalami tangan dokter erat-erat. “Maaf, Bapak sakit apa?” Dokter balik bertanya. “Selama saya bertugas di Istana ini, tak ada keluhan yang serius dengan Bapak…” Sesaat Presiden diam.Agak ragu.“Ada yang ingin saya sampaikan dari dulu,tapi baru bisa saya sampaikan saat ini. Ini juga rahasia. Jangan sampai orang-orang Istana tahu, apalagi para wartawan,” ujarnya setengah berbisik.

Dokter itu menganggukkan kepalanya. Pikirannya menerka- nerka, “Sakit apakah gerangan Bapak Presiden yang mulia? Bukankah selama ini sehat- sehat saja?” “Malam ini saya ingin menangis, Dok? Betul, saya ingin menangis. Sudah lama saya tidak bisa menangis,sejak tujuh tahun,sejak saya jadi presiden. Tolonglah, malam ini saya sangat merindukan air mata, saya ingin menangis,Dok.

” Dokter mengernyitkan dahinya dan segera mengambil senter kecil dari dalam tasnya dan menyorotkan sinarnya ke bola mata Presiden satu demi satu.Namun, kedua mata presiden itu tidak ada tanda-tanda bermasalah secara medis. “Mata saya masih sehat, Dok?” “Ya,sehat-sehat saja,Pak.” “Tapi, yang tidak saya mengerti, mengapa air mata saya tidak keluar dalam tujuh tahun terakhir ini?” Dokter itu menahan keterkejutan dalam hatinya.“Oh….. Itu lama sekali,Pak.Mengapa Bapak baru menyampaikannya sekarang?

Menangis itu sangat penting. Sebab di dalam air mata itu terkandung cairan lisozom yang dapat membunuh sekitar 90–95% bakteri.Selain itu juga bisa memerangi beragam penyakit yang disebabkan oleh stres seperti darah tinggi,”jelas dokter. “Lalu apa yang harus saya lakukan agar bisa mencucurkan air mata,Dok?” “Secara medis mata Bapak sehat.Tapi… tidak ada salahnya mata Bapak dilatih kembali melihat yang sedih-sedih.

Coba saja Bapak jalan-jalan bersama para menteri ke seluruh wilayah negara ini, siapa tahu Bapak bisa menangis. Mohon maaf , Pak … ” saran Dokter. Presiden pun bersama beberapa menteri mengunjungi warga yang hidup di kolongkolong jembatan, juga yang tidur di emperan toko,serta di dalam gerobak-gerobak sampah dan barang bekas.Lalu,melihat ribuan warga yang menderita karena rumahnya dilanda banjir,dan gempa tsunami.

Dilanjutkan melihat puluhan pejabat pemerintah yang dipenjara karena terbukti melakukan korupsi. Selain itu, melihat pantai-pantai yang kotor penuh dengan tumpukan sampah dan tanpa adanya pohon mangrove serta banyak ikan yang mati berserakan karena keracunan limbah. Tapi air mata presiden tetap saja tidak mengalir meski melihat seluruh pemandangan yang mengharukan itu dengan cara membukakan matanya lebar-lebar.

“Mungkin ke tempat lain, air mataku akan mengalir,”harap presiden dalam batinnya sendiri. Ditinjaulah sawah-sawah yang sudah berubah menjadi kawasan pabrik, perumahan, tempat-tempat hiburan, dan mal-mal.

Kemudian bangunanbangunan sekolah yang ambruk, kantor-kantor perwakilan rakyat yang ditinggalkan oleh para anggotanya karena sedang pelesiran ke luar negeri, jalan-jalan rusak akibat dilewati truk-truk galian tanah dan pasir ilegal, sungai-sungai yang hitam karena dijadikan pembuangan limbah industri dan rumah tangga, rumahrumah ibadah yang hancur

akibat aksi kerusuhan, makam- makam para pelajar yang tak berdosa yang menjadi korban kekerasan tawuran antar pelajar, melihat ibu-ibu menggendong bayi yang menderita gizi buruk yang menunggu jatah biskuit di beberapa puskesmas, para TKW yang dirawat di Rumah Sakit Umum yang menderita cacat fisik karena disiksa oleh majikannya di luar negeri secara kejam, mendatangi Taman Makam Pahlawan, menjenguk korban - korban kecanduan narkoba di pusat rehabilitasi.

“Mohon maaf,Pak.Apakah Bapak sudah bisa mengeluarkan air mata?” tanya dokter, yang turut serta dalam kunjungan tersebut. Kemudian dokter menyodorkan sehelai sapu tangan.Presiden menolak secara halus dengan tangannya,lalu menunduk dan diam-diam tangan kanannya meraba kedua bola matanya. Beberapa detik kemudian menggeleng dengan wajah sendu. Mungkin ada baiknya juga Bapak mencoba mendialogkan persoalan-persoalan yang Bapak lihat itu dengan gubernur, bupati, dan wali kota,” saran dokter lagi.

Dipanggillah raja-raja kecil dari daerah itu ke istana.Para pejabat itu datang dengan mengendarai mobil-mobil mewah dan tentu saja mengenakan pakaian yang bagus-bagus juga. Presiden kemudian berbicara, “Saya sudah melakukan kunjungan ke seluruh wilayah. Tapi masih banyak gizi buruk, hutan yang rusak, sekolah ambruk, jalan-jalan rusak, sungai yang dijadikan tempat pembuangan limbah cair, dan lainlain. Apakah semua itu bisa membuat saudara-saudara menangis?”

Para gubernur, bupati, dan wali kota,tersenyum. “Loh, kenapa saudarasaudara tersenyum?” “Bukankah itu pemandangan biasa, Pak Presiden. Jujur saja kami tak bisa menangis lagi,”jawab mereka serempak. Dengan perasaan gugup dan marah, presiden berusaha menguasai diri.Tanpa konsultasi kepada dokter lagi dan dengan pikiran yang agak bingung, presiden segera mengunjungi seorang pakar mentalis, yang biasa mengisi acara di televisi swasta. “Saya disebut-sebut banyak orang sebagai mentalis hebat. Tapi untuk urusan mengeluarkan air mata, itu bukan keahlian saya,”kata sang mentalis.

“Apa pun pendapat Anda, tolonglah saya.Saya betul-betul ingin menangis detik ini juga. Saya betul-betul tersiksa….” “Kalau tidak bisa menangis, apa salahnya menggunakan air mata buatan, Pak Presiden. Bukankah di zaman sekarang ini yang asli-asli itu bisa digantikan dengan yang palsu,seperti pemimpin palsu, wakil rakyat palsu, penegak hukum palsu, guru-guru palsu, tokoh agama palsu.

Kalau sudah pakai air mata palsu saja sudah tidak bisa, janganjangan, mohon maaf,mata dan hati Pak Presiden berarti benar- benar palsu.” Presiden pamit dengan hati kecewa. Setibanya di Istana, Presiden masih memikirkan perkataan mentalis itu. “Seingat saya,mata saya ini asli,juga hati saya bukan hati buatan,” kata presiden dalam hati. Seperti biasa,malam itu dia berjalan menuju belakang Istana. Merenung dan merenung lagi.Tiba-tiba dia ingat waktu kecil,mungkin sekitar kelas VI SD.

Waktu itu dia tengah mengupas mangga, karena terburu- buru,akhirnya salah satu jari tangannya tersayat pisau cukup dalam. Waktu itu dia menangis dan bahkan sampai menjerit-jerit karena betulbetul kesakitan. Diam-diam ditatapnya jari kelingking tangan kirinya yang dulu tersayat pisau dapur itu, bekasnya kini masih nyata.Presiden lantas bergegas menuju dapur dengan langkah yang agak lebar. Ternyata banyak pisau yang tersimpan rapi di ruang dapur yang modern itu.

Gagangnya berwarna hitam, bilahnya warna putih, ujungnya sangat runcing, dan Presiden yakin bahwa itu merupakan pisau yang sangat tajam. Diambilnya salah satu pisau yang agak besar. Dipegang gagang pisau itu pelan-pelan,lalu diambilnya satu buah mangga yang sudah matang yang tersimpan di tempat penyimpanan buah-buahan. Dikupaslah satu buah mangga itu dengan gerakan terburu-buru dan bahkan sangat cepat.

Namun hingga kulit buah itu terkelupas,tak ada satu jari tangannya yang tersayat pisau yang tajam itu. Presiden segera membersihkan tangannya di wastafel sambil melihat wajahnya yang pucat di cermin.Pisau yang tergeletak bekas mengupas mangga itu dicuci,mula-mula gagang pisau itu diusap-usap, lalu bagian yang paling tajam. Sangat pelan. Setelah bersih, dipegangnya gagang pisau itu, lalu ditatapnya mata pisau yang runcing itu dalam-dalam, yang terbuat dari logam yang pipih.

Tiba-tiba presiden melihat cahaya dari ketajaman logam pisau itu berkelebat-kelebat hingga menyilaukan matanya. Presiden tersenyum dengan bola matanya yang mendadak liar.Tak ada kata-kata kecuali hanya nafasnya yang terasa sangat berat. Dalam tubuh yang kaku,dengan gerakan yang sangat bertenaga, entah siapa yang membimbing tangannya hingga dia kalap membelek perutnya sendiri dengan pisau itu. Lalu mengeluarkan hatinya secara perlahan-lahan. Ditatap hatinya itu.

Tangan presiden penuh dengan lumuran darah.Cipratancipratan darah jatuh di lantai yang bersih. Sejenak presiden mematung dan meringis menahan sakit yang luar biasa,lalu dengan langkah kaki yang gontai, dia berjalan menuju belakang istana. Tapi sebelum duduk di kursi jati, mendadak air matanya memberiak seperti mata air di padang pasir, lalu mengalir ke pipinya membentuk sungai kristal yang sangat indah. Pelan-pelan dia meraba air matanya. Dirasakan telapak tangannya basah. Dingin. Bibirnya tersenyum. Senyum yang termanis dalam sejarah hidupnya.
* Lahir di Desa Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.Senang menulis cerpen dan puisi serta naskah drama anakanak. Karya-karya cerpen dan puisi pernah dimuat di koran lokal dan nasional serta media online. 

Comments

Popular posts from this blog

Your Link Exchange

Forum ICITY: Transformasi Cara Berkomunikasi & Berbagi Solusi

Daftar 50 Promising University Indonesia