Liku – Liku Hukum Kampus

Sang Pena - Lagi, dari email yang belum ku kenal, terima kasih. Pagi ini aku menemukan senja, indah... namun mentari pagi lebih ku nanti. Setelah menyembah sang penguasa alam tadi, kuputuskan untuk menyusuri jalan besar yang masih sepi penghuni, kulihat bumi masih gelap dan langit amat damai. Biru, oranye, merah, putih berpadu menjadi warna senyum hati, dengan berbias beribu bintang dan satu bintang yang menurut mataku paling terang.


            Kusapa beberapa orang yang lalu lalang membuka tokonya, menyapu halaman dan sayup – sayup  terdengar lirih seorang renta tengah melantunkan ayaat – ayat suci kehidupan, surat cinta dari Sang Maha Esa. Kulambatkan langkahku, ku lepas headset  sejenak yang sedari tadi membius telingaku dengan mutiara pagi radio. “sssshh,,,,sejuknya pagi ini..”
* * *
Kulihat banyak pekerjaan menumpuk dalam rumah huniku. Mencuci piring yang aku dahulukan, sembari masih membungkam telinga dengan berita – berita negri dan luar negri, ceramahnya telah usai tiga menit yang lalu. Berita – berita diradio kudenganr dengan geram, kecewa, sakit dan bingung. Tiba – tiba “ praaaang....!!!!!” piring pecah satu! Spontan ku dengar suara seru dari dalam rumah, “ pecah nduk?!”
“ maaf nek, “ rupa – rupanya aku tengah emosi dan sebel mendengar kata – kata korupsi dan ketidak damaian dimana – mana, suasana pagi memang dingin namun hati dan otakku tengah meluap – luap bak air di godog, mendidih.
Segera kuboyong jarum penunjuk chanel ke titik yang lebih ujung. Rupanya ceramah kesehatan “ assyyiik “ gumamku.
Kurampungkan tugasku pagi ini, hari ini ada jadwal berangkat ke kampus, kupergi siap !
Sebenarnya aku enggan berangkat, tapi mewajibkan. Kenapa aku enggan berangkat? Karena aku sudah tahu, sudah tahu apa yang akan terjadi di kampusku nanti. Tidak lain dan tidak keliru, yaa registrasi ulang ! duit!!!. Sesuatu yang cukup menyempitkan peredaran darah dan membuatkau menggigil.
* * *
“ Berangkat nek, Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh “ kujabat tangan nenek
“ Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakaatuh, hati – hati nduk, sudah selesai lekas pulang “ sahut nenek.
Ku tunggu sesuatu yang mampu mengantarku dengan satu jalur, Kampus!, “Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi lakhaulaa wa laa kuwwata illabillah”.
Lamaa, mondar – mandir di pinggir jalan “ Pokoknya nanti pulang harus dapat sesuatu yang nenek senangi, bukan hanya berita uang!” pikirku seribu kali.
Tak ku temukan juga jawaban yang tepat.
Bus lewat, kulambaikan tangan pertanda menyetatus sebagai penumpang, tidak ada tempat duduk kosong, lebih dari itu, amat sesak! Membludak, terjepit didaun pintu. Masih sempat ku pandang birunya langit, Damaiiii.... biar hati dan jiwaku telah terdesak – desak, masih bisa aku mendapat kenikimatan, Alhamdulillah...
* * *
“ tok, tok, tok, .... Stop pak, kampus biru depan” sembari kuberikan isi dalam sakuku.
“ terima kasih pak!...”
“ Yo, kembali”
Berat sekali kulangkahkan kaki lewati gerbang, rasanya seperti masuk dalam ruang eksekusi penancapan pedang uang yang akan mencabik – cabik otot – otot kaku ku.
“ Bismillahirrahmaanirrahiim... huhh DAMAI ... Yiiiha “
Kusalami satu persatu sahabat perempuanku. Kupeluk sahabatku penuh kerinduan “ Mba Okki..... aku kangen, hehehe “....
“ gimana kabar mbak?, sehat?, berangkat jam berapa?, sudah lama?”
“ waaahh,,, panjang bener tanyanya? Hehe alhamdulillah sya.., sini duduk sebelahku”
“ hehe terima kasih mbak, kita ke kelas saja yuk?? “
“ ayo kita kemon... !”
Kami mulai menaiki tangga, gambaran kampus kami yang subhanallah, ada tangga pijakan satu per satu, layaknya sebuah kesuksesan, tak akan bisa kunaiki tangga ke-7 tanpa kulewati tangga ke-5 dan dimulai dari yang bawah. Sejenak terlintas mimpi – mimpiku dalam angan. Pintu terbuka lebar, kami masuk memakai salam, biar terasa lebih sedap, begitu kata  Ibuku dulu.
“ Aisyah ! “ teriak suara lengking dari sudut. Rupanya Isna. Ku lambaikan tangan saja karena acara akan dimulai.
Pembahasan dan penjelasan dimulai. Sampai pada sesi akhir mengendus lesu, “ Huufffzz,,, Astaghfirullah.. duit berjuta – juta dalam putaran otakku tadi pagi kini telah terlontarkan. Bagai terkena panah duri, “ bagaimana ceritanya aku ke nenek nanti? “ keluhku, darimana aku dapat uang sebanyak itu?
* * *
Keluar dari ruang eksekusi, gontai langkahku tak sanggup melangkah temui nenek tercinta. Ku tunggu jemputan. Bus kuning datang. Kembali statusku menjadi penumpang, tidak jauh beda dengan kondisi berangkat sesak kompak dengan rasa di batinku.
“ sudah penuh pak, geser kemana lagi!!” keluh ibu – ibu
“ sedikit bu, ndak bakal ketukar kok kakinya,, “ sahut pak sopir.
Aku berdiri tepat dibawah jendela kaca. Kupandangi langit masih membiru, “ Subhanallah, terima kasih ya Allah dalam penatku tetap Engkau yang paling sayang ! ”.
Laju Bus memang lambat tapi cepat buat aku yang enggan siap pulang mengetuk pintu rumah.
Sepanjang perjalanan hanya ada kata “ Bisnis apa ya? Agar dapat uang kilat, “ mulai ku putar – putar otak dengan gigi tiga. Memang tak ada hal yang lebih menguntungkan buatku selain berpikir untuk saat ini. Hingga hampir sampai kompleks rumahku tak juga ku temukan jalan mencari jutaan uang rupiah itu.
“ Stop pak, Mbah Harun berhenti “. Harun itu nama kakeku yang lama telah tiada, dulu beliau sakit keras hingga ajal menjemputnya.
Melompat beranjak dari bus, aku ragu mengetuk pintu. Aku takut, aku cemas, gelisah, dan deg – degan. Bahaimana nanti. Tiba – tiba..  “ Aisyah...” suara dari dalam menggema lembut, mengagetkan gemetarku.
“Assalamu’alaikum..” sapa ku.

Comments

Popular posts from this blog

Your Link Exchange

Forum ICITY: Transformasi Cara Berkomunikasi & Berbagi Solusi

Seberapa Cepat Loading Blog Anda?