Catatan Perjalanan I #SedekahRombongan

Sedekah Rombongan, Berbagi
Sang Pena - Semarang - 28 Nopember 2012 - 6.549.396 - Tulisan ini adalah laporan yang saya buat untuk Sedekah Rombongan sekaligus sebuah catatan perjalanan untuk mengabadikan Beliau, Mbah Ngamini. Selamat Membaca. 

:) Mbah Ngamini adalah satu dari sekian banyak penduduk Indonesia yang terlupakan oleh zaman. Lima tahun silam setelah diusir oleh saudaranya di Rembang, beliau dan satu anaknya mengadu hidup di Semarang.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bukannya memperoleh kehidupan yang layak, Mbah Ngamini malah mengalami kesulitan ekonomi yang luar biasa. Karena keterbatasan dan minimnya keahlian, akhirnya beliau memilih untuk tinggal di sebuah komplek Makam Cina. Membentuk rumah yang lebih mirip kandang ayam, namun tetap ditinggali bersama satu anak, dua cucu, dan tiga cicitnya. 

Pekerjaan beliau sehari-hari hanya mengumpulkan kayu, seadanya dari hutan di sekitar makam. Harga satu “ikat” tali dengan ukuran yang besar, hanya Rp20.000. Bahkan kadang seikhlasnya, tergantung pembeli mau memberikan apa sebagai pengganti. Jika harus jujur, uang sebesar itu tentu tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari Mbah Ngamini. Apalagi penjualannya pun tidak pasti, kadang seminggu hanya satu kali.
===
Pertemuan awal saya dengan Mbah Ngamini terjadi awal Ramadhan tahun ini. Saya kebetulan memang menjadi takmir sementara di Masjid kampus selama Ramadhan. Kebetulannya lagi, setiap berbuka puasa, kampus menyediakan takjil untuk warga sekitar. Ternyata mbah Ngamini merupakan salah satu warga yang rutin hadir. 

Melihat kondisinya yang tak terurus dan dengan baju yang sudah tak layak pakai. Saya tergerak untuk mendekati beliau dan bercakap-cakap. Setelah sedikit banyak bercerita, saya akhirnya mafhum beliau memang mengaku bekerja seorang diri di usia senja untuk membantu keluarganya. Tak heran jika kondisinya jauh dari kesan sejahtera. 

Singkat cerita, akhirnya saya membuat kesepakatan. Bahwa beliau tidak perlu ke masjid untuk mengambil takjil, karena saya akan rutin ke tempat tinggal Mbah Ngamini di tengah makam untuk mengantarkan takjil tersebut. 

Sore pertama saya berkunjung, langit seolah runtuh. Meruntuhkan pula hati saya untuk ikut larut dalam gerimis air mata yang tidak bisa dibendung. Benar-benar tidak bisa dibendung. Betapa Mbah Ngamini yang sudah tua itu, hidup dengan begitu prihatin, rumah sangat sederhana, tanpa penerangan, dan di tengah makam. Gelap kala malam, panas kala siang. Hujan dan angin seakan kawan yang akrab untuk mbah Ngamini. Kawan lama.
===
Alhamdulillah, hari ini saya bersama mbak Anin, Kurir #SedekahRombongan Semarang berhasil bertemu beliau dan menyampaikan santunan dana dari #SR sebesar Rp1.500.000,-. Dengan diiring selaksa doa kami berharap dan menyampaikan kepada beliau, untuk menggunakan uang tersebut sebaik-baiknya. 

Akhirnya, kami pulang meninggalkan rumah Mbah Ngamini  dengan kaki ringan dan dada mengembang haru. Ingin rasanya kelak kami berbagi lebih banyak, untuk SR untuk umat yang terlupakan di bumi Indonesia. 

Langit menghangat, mengiringi langkah kami yang semakin jauh dari rumah Mbah Ngamini di tengah makam. Sambil berjalan, kami yakin, dalam hati kami masing-masing telah berjanji. Di dalam jiwa raga kami, terdapat tanggung jawab untuk menyelamatkan umat. 
#Mereka yang telah hadir, terima kasih: Mbak Anin, Ridwan, Ratih, Asih, dan Anggun. 

 @sang_pena
Kurir #SedekahRombongan Blora 

Comments

  1. subhanallah... semoga kegitsn seperti ini dapat di contah generasi pemuda sekarang..
    bahkan semua ummat di dunia :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar, yang sopan ya :) | Semua komentar akan dimoderasi.

Hendak diskusi dengan penulis, silakan via email di pena_sastra@yahoo.com. Terima kasih

Popular posts from this blog

Your Link Exchange

Forum ICITY: Transformasi Cara Berkomunikasi & Berbagi Solusi

Karya Kartun Tapak Suci III