Cita-Cita Itu?
Saya menduga kebanyakan dari mereka, kita, tidak memiliki cita-cita yang tinggi, masa depan yang maju, sebagai manusia. Bahkan, saya ragu, mereka, kita tidak memiliki cita-cita.
Sang Pena - Saya masih ingat, awal SD dulu, sekitar tahun 97an, di
kampung saya, Desa Medalem, Blora, Jawa Tengah, masih belum familiar dengan apa
yang namanya “listrik”. Bukan hanya belum familiar, malahan listrik masih
terkesan sebagai barang wah dan
asing. Lampu teplok, ublik, dimar, oncor, petromak, lebih banyak, mudah sekali
kita jumpai jika menjelang adzan maghrib.
Di kampung saya juga, ketika pagi datang, kala itu, semua
orang akan berbondong-bondong ke sawah, karena memang mayoritas petani, baik
pemilik lahan atau hanya buruh tani. Atau juga, pergi ke sungai Bengawan Solo,
sekedar buang hajat dan mencuci pakaian, kebiasaan yang sebenarnya tidak
higienis sedikit mulai berkurang, tapi masih ada hingga saat ini.
Pasar. Pasar adalah sentral dari aktivitas ekonomi di desa
kami, mulai dari yang paling kaya, hingga yang paling miskin. Mulai dari
makelar sapi, hingga makelar anak ayam bangkok. Lengkap, lebih lengkap, baik
dari segi nilai estetika, budaya, hingga seni, daripada minimarket modern yang
sering kita lihat.
Desa saya itu, dibandingkan saat ini, keadaannya jauh berbeda,
jauh sekali. Jika dulu setiap hari pemuda dan orang tua pergi ke sawah,
generasi di desa kami saat ini tidak demikian, kami memiliki banyak guru PNS, pengusaha
yang sukses, bahkan maling kayu yang suksespun juga ada.
Jika dulu rumah hanya berlantai tanah, berdinding gelam
(kulit kayu jati) bertambal kayu lapuk, berlantai satu dengan tiang penyangga
mengharukan yang sewaktu-waktu bisa roboh jika musim hujan angin tiba. Lihatlah
sekarang, banyak rumah tembok, lantai keramik, tidak hanya berlantai satu,
bahkan lebih.
Dulu orang ramai berjalan kaki, berhilir mudik berjamaah,
melewati jalan setapak yang lebih mirip jalan sapi. Lihat sekarang, motor sudah
bising sekali, apalagi remaja yang masih labil itu menggeber gas motornya pol,
trek-trekan, mengangkat ban depan, seperti hendak perang berkuda. Entahlah, apa
karena jaman memang sudah edan, atau jarum kewarasan saya yang masih belum mau
mengikuti zaman ini.
Beruntung sekali jika anda tidak pernah mengalami jaman
sebelum saya lahir, begitu kata ibu, dulu masih banyak yang tidak sekolah,
banyak yang telanjang, jarang mandi pakai sabun, apalagi wangi. Sekarang
sekolah sudah diwajibkan pemerintah, pun soal telanjang menelanjang, tidak ada lagi
anak kecil yang sekarang pede tidak
pakai celana. :)
Namun, di tengah “pesta” dan “selebrasi” kemajuan yang
demikian pesat itu. Saya bertanya sendiri, apakah mereka, kita, memiliki masa depan? Apakah mereka,
kita, punya cita-cita yang jauh dan tinggi?
Saya menduga kebanyakan dari mereka, kita, tidak memiliki
cita-cita yang tinggi, masa depan yang maju, sebagai manusia. Bahkan, saya
ragu, mereka, kita tidak memiliki cita-cita.
Mengapa cita-cita??
Karena satu hal yang penting, yang menjadi pembeda manusia
dengan binatang itu terletak pada cita-cita. Manusia itu harusnya makhluk yang
punya naluri untuk maju, berkembang, di semua sisi, etika, estetika, dan
lain-lain. Sedangkan binatang, binatang itu tidak punya cita-cita, kecuali
bahwa dia harus makan dan “berhubungan” untuk mempertahankan kelangsungannya.
Artinya apa?
Sebagai makhluk yang berjuluk manusia, kita harus punya
cita-cita. Sadar bahwa kita harus punya, cita-cita pribadi, lebih-lebih
cita-cita bersama, cita-cita bangsa, penting sekali untuk digantungkan
setinggi-tingginya. Jika tidak, apa bedanya dengan ...
Cita-cita adalah kompas, arah, navigasi, sesuatu di depan
yang harus kita kejar, apapun namanya. Segalanya bisa kita sebut sebagai
cita-cita, selama itu untuk kemaslahatan, kemajuan kualitas hidup manusia. Cita-cita
adalah kebahagiaan yang akan kita raih dan nikmati di hari akhir.
Misal, cita-cita seorang pelari adalah menang, sekalipun
hanya selisih nano detik. Cita-cita seorang bidan, adalah menjadi bidan
terbaik, mengabdi dengan pelayanan terbaik. Cita-cita psikolog adalah menjadi “rekan”
terbaik bagi mereka yang butuh terapi jiwanya.
Atau, seperti cita-cita petani, yang ingin memanen dan
menjaga alam. Cita-cita binatang? Cukup bertahan dan bisa makan esok hari. Cita-cita
saya? Sederhana saja, ingin membawa ibunda keliling bumi, ke tanah para nabi. Bukankah
itu sudah cukup “ke depan”? :)
Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Jika terlalu tinggi,
ambillah kursi lalu tulislah di kertas dan pajanglah di langit-langit kamarmu! Yang
penting, siapkan bekal tiga hal berikut ini: cukup tenaga, cukup komitmen,
cukup pengetahuan. Jika ketiganya lemah, bersiaplah ambruk di tengah jalan,
bahkan di awal jalan.
Salam Bahagia!
Dalam kamar, berkawan
nyamuk yang genitnya minta ampun -_-
29 Oktober 2013 | 11:42
am
Terinspirasi Ahmad
Tohari | Surah
Cita2 saya menjadi pilot :D > LAdy
ReplyDeletehmm Menurut saya, cita-cita ialah suatu hal yang ingin di raih,, sedangkan yang lebih di butuhkan ialah, bagaimana kita bisa merubah Diri kita, masyarakat dan bangsa, agar hidup sesuai fitrahnya yaitu berjalan di atas kebenaran... itu yang harusnya yang harus kita fikirkan, bukan cita-cita yang hanya meraih impian pribadi, tetapi apa yang di butuhkan masyarakat,bangsa pada saat ini agar mereka berjalan di atas kebenaran? LAKUKAN..!!
ReplyDeleteLanjutkan! :)
ReplyDelete