Raih Bahagiamu!
Sang Pena - Bahagia, siapa yang tidak menginginkannya? Semua manusia
pasti menginginkan yang namanya kebahagiaan. Keluarga yang bahagia, utuh,
harmonis. Pekerjaan yang mapan, karir yang berkembang. Tetangga yang ramah,
lingkungan yang kondusif. Semua mengharapkan bisa merengkuh kondisi ideal
semacam tersebut.
Pertanyaannya, apakah semua berhasil meraihnya? Tidak, bahkan
sedikit sekali yang benar-benar meraih kondisi ideal tersebut. Kebanyakan, hidup
lebih banyak berhias tangis. Kebanyakan, hidup tak lebih hanya sekedar hidup,
karena tidak tahu lagi bagaimana “cara hidup”.
Kita seringkali lupa, bahwa ada harga yang harus dibayar
untuk mencapai sebuah kondisi terbaik. Ada nilai yang harus kita miliki untuk
mencapai puncak sebuah prestasi. Misal pelari, ia harus rela remuk redam
kakinya karena berlatih, untuk sebuah kemenangan. Demikian pula profesi dan
tujuan yang lain, selalu ada nilai yang harus kita miliki untuk menggapainya.
Pun manusia, saya, anda, mereka, diciptakan bukan tanpa
tujuan. Sama halnya yang sudah terurai di atas, untuk dapat mencapai tujuan penciptaan manusia, kita harus
memiliki nilai apa yang seharusnya
dimiliki oleh manusia. Bagaimana mungkin kita bisa bahagia jika kita tidak
pernah tahu untuk apa kita hidup? Maka, kita harus paham dengan benar apa
tujuan sebenarnya kita diberi kesempatan hidup, yang kata orang Jawa
diibaratkan “mampir ngombe”.
"Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia
mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus;
ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (AL-Insan : 2-3)"
"Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
(Adz-Dzariyat : 56)"
(Adz-Dzariyat : 56)"
Kita sudah
diciptakan dalam bentuk yang luar biasa sempurna, lengkap dibekali akal fikiran
yang mampu menjadi filter untuk membedakan mana yang baik, mana yang buruk. Manusia
juga dibekali nafsu, berdampingan dengan akal, yang akan menjadi nikmat
sekaligus ujian. Nikmat jika nafsu dapat dikendalikan akal fikiran, dan ujian
kala nafsu sudah menguasai akal fikiran.
Dengan adanya
nikmat dan ujian tersebut, manusia akhirnya dikelompokkan menjadi dua macam:
satu yang selalu bersyukur atas nikmat Allah, satunya lagi yang senantiasa
kufur atas nikmat Allah. Masing-masing akan mendapatkan balasan atas pilihan
mereka tersebut.
Kembali dalam
konteks bahagia, kita bisa bahagia selama kita mensyukuri apa yang kita miliki,
bukan apa yang dimiliki orang. Kita bisa bahagia, jika menghadapi ujian Allah
dengan tangan terbuka. Kita bisa bahagia, selama kita YAKIN, ALLAH KAN
BAHAGIAKAN KITA. Seandainya dunia tak memberikan kesempatan kita untuk bahagia,
bermunajatlah agar surga menyambut kita di sana.
Ujian adalah wujud
kasih sayang Allah, tidak ada satupun makhluk di bumi yang terlewat hidupnya
tanpa ada ujian. Maka bersyukurlah, jika engkau saat ini sedang di uji. Sesungguhnya
Allah menantimu untuk naik lebih tinggi di hadapanNya :)
Mintalah kepada
Allah, rengkuhlah cintaNya. Jika engkau sudah meraihnya, jangankan meminta sebuah
kebahagiaan, duniapun akan diberikan jika engkau mau.
Bahagiakan dirimu,
karena kebahagiaan itu, harus diciptakan dari diri sendiri, bukan ditunggu!
Semarang, 4 Oktober 2013 | Indahnya sunrise :)
Comments
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar, yang sopan ya :) | Semua komentar akan dimoderasi.
Hendak diskusi dengan penulis, silakan via email di pena_sastra@yahoo.com. Terima kasih