Mengkritik Diri Sendiri
Sang Pena - Setidaknya selama kurang lebih 22 tahun saya hidup, saya menemukan
bahwa kecenderungan manusia adalah mencari kesalahan orang lain, dibandingkan
mencari kekurangan diri sendiri. Lihat saja betapa mudahnya lisan kita melesat
bak anak panah, tatkala mengkritik orang lain, mencari kesalahan orang lain,
atau sebut saja pembenaran terhadap diri sendiri.
Memang ada ya, yang melarang kita mengkritik? Tidak ada. Hanya
saja terkadang kita terlewat melampaui batas, ya, batas kewajaran mengkritik,
yang lebih menjurus ke arah “menjelekkan”, “merendahkan” atau malah menghina. Biasanya
sumbernya sederhana, ketidak objektifan kita dalam menilai sesuatu.
Indahnya sebuah lisan jika bertabur kehormatan. Santun terucap,
lemah lembut beriring. Kritik itu adalah kebahagiaan bagi penerima, madu bagi
mereka yang sedang belajar, hanya saja kita sering terlupa dengan hal-hal
sederhana tersebut. Sebaik-baik kritik, tentulah kritik yang terucap dengan
BAIK, RAMAH, pun LEMAH LEMBUT. Jangan disudutkan, atau jangan langsung
menyalahkan.
Agama yang mulia ini telah mengajarkan, bahwa lisan ini
lebih baik DIAM, jika tidak bisa menyampaikan kebaikan. Betapa Allah memberikan
pelajaran kepada manusia bahwa LISAN KITA HANYA UNTUK KEBAIKAN, bukan yang
lain, bukan maksiat, bukan pula “ember”. Ingatlah, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah,
hendaklah ia berkata baik atau diam!” (Muttafaq’alaih).
Demikianlah, lisan ini sangat berbahaya jika tidak digunakan
sebagaimana mestinya. Imam Ghazali sendiri pernah mencatat, bahwa setidaknya
ada 20 kesalahan atau bencana yang bisa diakibatkan oleh lisan yang tak
terjaga.
Kembali ke topik “mengkritik”, sebelum mengkritik, pastikan
bahwa kita memahami dengan baik apa kemampuan orang yang kita kritik tersebut. Carilah
kelebihannya. Sekecil apapun, posisikan kita untuk menghargai kemampuan
terbaiknya, agar kritik tidak melulu berdasar pada kekurangan, tetapi juga
merujuk untuk meningkatkan kemampuan yang sudah dimiliki.
Selain itu, kita juga harus memeriksa kembali, mengecek hati
kita. Apakah motif kita mengkritik? Sekedar pamer kemampuan, atau yang lain?
(pertanyaan jujur ini hanya bisa dijawab diri kita masing-masing).
Jika kritik hanya untuk mencari kesalahan dan pamer
kemampuan diri. Maka harus cukup, dicukupkan, karena sebaik apapun kritik,
kritik itu tidak akan membekas di hati penerima, malah kadang menyakitkan. Malah
kadang menyisakan luka berkepanjangan.
Nah, maka dari itu, sesuai judul, saya pribadi sebenarnya
ingin sekali mengajak kepada pembaca semua untuk tidak sibuk (atau sok sibuk)
mencari kesalahan orang lain. Bukankah lebih bijak jika kita berfikir positif? Cobalah
sesekali bertanya, sudahkah kita lebih baik daripada orang yang kita kritik? Sudahkah
kita lebih shalih/shalihah daripada orang yang hendak kita kritik?
Sebuah kalimat dari ahli hikmah mengatakan “aku tidak menyesali apa yang tidak pernah
aku katakan, tetapi aku sering sekali menyesal terhadap perkataan yang aku
ucapkan”. Ketahuilah, lisan yang nista lebih membahayakan pemiliknya,
daripada orang lain yang menjadi korban lisannya. ( mengutip Dr. Aidh Bin
Abdullah Al Qarni, MA.)
Ketika tersandang gelar Islam, agama yang SANGAT MULIA
ini, kita memang sudah sepatutnya untuk
tidak mencari kesalahan orang lain. Apalagi berusaha mengkritik dengan tujuan
mempermalukan, lalu menyebarkannya, atau bahkan mengkritik di hadapan umum
untuk pamer keilmuan kita. Diam, pilihan paling bijak saat keinginan itu menyergap.
Rasulullah pernah bersabda,”Aku peringatkan kalian tentang prasangka, karena sesungguhnya
prasangka adalah perkataan paling bohong, dan janganlah kalian berusaha untuk
mendapatkan informasi tentang kejelekan dan mencari kesalahan-kesalahan orang
lain, dan jangan pula saling dengki, saling benci, saling memusuhi, jadilah
kalian hamba Allah yang bersaudara” (HR. Muslim)
Adalah lebih baik, ketika kita mau belajar mengkritik diri
sendiri. Mencari kesalahan diri sendiri untuk kemudian menjadikannya koreksi
agar bisa lebih baik. Sisa hayat yang tersisa ini sungguhlah senantiasa semakin
berkurang dan berkurang. Bisa jadi hari ini, esok atau lusa adalah hari yang
terakhir.
Bukankah lebih membahagiakan jika kita mampu membuat orang
lain tersenyum, dengan nikmat lisan yang diberikan oleh Allah? Mari perbaiki
diri, bersama saling mengingatkan, hingga ajal menghampiri.
Selamat pagi, akhir Desember!
Penuh cinta memandang biru langitmu yang pagi ini memutih :’)
Di tulis di Mushola
Roudlotus Sholihin, 27 Desember 2013
Bacalah dalam
kesyukuran di segala penjuru bumi
Alhamdulillah semakin termotivasi lagi untuk menjadi pribadi yg lebih baik dan menjaga perilaku serta lisan, terima kasih mas :)
ReplyDelete