La Tahzan, Wahai Jiwa!
Sang Pena - Berjalan ke belakang memang tidak semudah ketika kita
menentukan langkah untuk ke depan. Sulit? Iya, tapi bukan berarti tidak bisa
dicoba kan? Seandainya waktu itu berwujud fisik seorang manusia, mungkin aku
akan memintanya sebagai sahabat abadi. Karena apa? Aku ingin memutar waktu yang
lain, momen yang lain, atau milenia di peradaban yang lain.
Aku ingin mengenang masa sulit, mengulanginya sekali lagi,
agar aku mengerti makna kehidupan. Aku ingin sekali lagi mengenang bahagia
dalam sederhananya masa lalu, agar aku mengerti betapa banyak nikmat telah
menghampiri. Dan aku ingin mengenang satuan nano detik penuh makna yang
seringnya disimpan rapi oleh waktu. Tanpa pernah tersadar bahwa satuan waktu
itu terkhusus untuk membingkaiku.
Berjalan mundur? Bukan, tidak pernah ada manusia yang sehat
akal warasnya yang memilih berjalan mundur. Ketika pilihan di depan terlalu
palsu untuk memberikan kita arti kehidupan, haruskah kita memaksakan diri untuk
merangsek ke depan? Membawa pedang dan klewang hanya untuk menebas ketiadaan.
Mundur? Sekali lagi bukan. Kita hanya memilih untuk
menentukan jalan yang lain, apakah itu sebuah perjuangan, berkelana, atau
perjalanan menuju palagan perang yang lain. Apapun namanya, persiapan adalah
bekalnya. Ilmu adalah bekalnya, belajar adalah langkahnya. Jika tidak begitu,
haruskah kita berdiri mematung, terombang-ambing pilihan yang kadang
merisaukan.
Kita ini, aku ini, hanyalah insan yang berawal setitik air
yang hina, kelak akan menjadi seonggok bangkai yang membusuk, dan saat ini
mondar-mandiri membawa kotoran di antara keduanya. Kita ini debu, adakah
semesta yang peduli? Kalau bukan diri kita sendiri? Sedahsyat-dahsyatnya
kejadian di bumi, sistem kosmos tidak akan terganggu.
Lalu, haruskah kita merisaukan masa lalu, atau menakutkan
apa yang terjadi di masa depan?
Sudahlah, kita adalah manusia yang kuat :) terlalu naif jika
kita harus mempermasalahkan kerikil di hadapan mata, sedangkan Rasulullah telah
melawan gunung di hadapan beliau.
Kita bisa berteriak menang, kita bisa berteriak penuh
kebahagiaan, mungkin bukan hari ini. Jika hari ini harus bercucuran air mata,
hadapi, jika harus meneteskan darah, habiskan!
Tidak ada badai yang abadi, jika bukan esok, kelak di masa
yang lain kita akan menjumpai yang namanya kebahagiaan.
La Tahzan, innallaha ma’anaa. Kita mungkin terlalu lama jauh
dan terlalu lama lupa dengan pemilik hati.
Semarang, 9 Februari 2014
Mencoba menemukan pedang kesatria, lalu menemukan kuda untuk
pergi jauh.
9:44 pm
ReplyDelete(h)
ini motivasi kepada jiwa-jiwa yang sedang bersedih akan masa lalunya, dan sedikit takut menempuh masa depannya. hehe..cukup memotivasi. semoga kepada jiiwa-jiwa yang masih bersedih...atau takut, bacalah artikel ini.
Laa Tahzan...innaAllahu ma'a naa