Repost: Masa Gitu Aja Ga' Tau?
Sang Pena - Bicara soal empati yang telah kita bahas sebelumnya ”bagaimana
pribadi kita memosisikan diri sebagai orang lain”, maka, inilah
pembahasan kita kali ini.
Saya selalu merefleksikan sekaligus berhati-hati soal saat menyampaikan sesuatu lewat lisan. Rasulullah menekankan soal ini : lisan yang tanpa tulang ia dapat menusuk bagai pedang.
Jika suatu saat, atau bahkan telah terjadi, ada seseorang yang datang
ke hadapan kita menanyakan satu hal yang menurut kita sangat sepele,
lantas kita berkata, “Waduhh… massa gitu aja ga tau?”. Padahal ia sangat
sungguh-sungguh tuk tahu dan berharap ia akan mendapat jawaban yang
dapat membuatnya tersenyum. Saudara kita itu lantas menangis.
Jika kita pernah berkata seperti itu, coba katakan “Wahai hati, setakabur apakah dirimu? Merendahkan manusia dan meninggikan diri dengan pengetahuan tak seberapa.
Wahai hati, saat Allah menegur kekasihnya yang -padahal- tidak sedikitpun menghinakan dan mencampakan Abdullah Ibn Ummi Maktum -sahabatnya yang buta-, kita berani-beraninya menggoreskan luka di hati insan yang ingin mendapat cahaya ilmu di sisimu?
Wahai hati, saat kau goreskan kata-kata itu pada saudaramu “Massa’ gitu aja ga tau?” Lantas dia hancur hatinya dan tak ingin lagi menanyakan satu hal padamu lalu ia juga tak mau menanyakan lagi pada orang lain, karena ia beranggapan orang berilmu itu sama sepertimu, seberat apakah dosa yang kan kau pikul sampai ajalnya menjemput tanpa cahaya ilmu?
Atau…
Wahai hati, berikan penjelasan, apakah saat ketakaburan diri yang ‘sok tahu’ selanjutnya kan menutup hati kita dari tidak merasa berdosa dan kenikmatan ibadah Allah cabut karena marahnya IA pada kita, lantas apa yang kan kita katakan padaNya pada hari saat kita menghadapNya ?”
Merenungi, untuk diri. Wahai Allah, maafkan Lady ini, saat pernah seperti itu.
Sumber
Saya selalu merefleksikan sekaligus berhati-hati soal saat menyampaikan sesuatu lewat lisan. Rasulullah menekankan soal ini : lisan yang tanpa tulang ia dapat menusuk bagai pedang.
“Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah
ia berkata yang baik atau – kalau tidak dapat berkata yang baik,
hendaklah ia berdiam diri saja.” (Muttafaq ‘alaih)
“Barangsiapa yang dapat memberikan jaminan kepadaku tentang
kebaikannya apa yang ada di antara kedua tulang rahangnya – yakni mulut
atau lidah – serta antara kedua kakinya – yakni kemaluannya, maka saya
memberikan jaminan syurga untuknya.” (Muttafaq ‘alaih)
“Sesungguhnya seseorang hamba itu niscayalah berbicara dengan suatu
perkataan yang tidak ia fikirkan – baik atau buruknya -, maka dengan
sebab perkataannya itu ia dapat tergelincir ke neraka yang jaraknya
lebih jauh daripada jarak antara sudut timur dan sudut barat.” (Muttafaq ‘alaih)
“Wahai Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab,
“Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan
lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)
***
Jika kita pernah berkata seperti itu, coba katakan “Wahai hati, setakabur apakah dirimu? Merendahkan manusia dan meninggikan diri dengan pengetahuan tak seberapa.
Wahai hati, saat Allah menegur kekasihnya yang -padahal- tidak sedikitpun menghinakan dan mencampakan Abdullah Ibn Ummi Maktum -sahabatnya yang buta-, kita berani-beraninya menggoreskan luka di hati insan yang ingin mendapat cahaya ilmu di sisimu?
Wahai hati, saat kau goreskan kata-kata itu pada saudaramu “Massa’ gitu aja ga tau?” Lantas dia hancur hatinya dan tak ingin lagi menanyakan satu hal padamu lalu ia juga tak mau menanyakan lagi pada orang lain, karena ia beranggapan orang berilmu itu sama sepertimu, seberat apakah dosa yang kan kau pikul sampai ajalnya menjemput tanpa cahaya ilmu?
Atau…
Wahai hati, berikan penjelasan, apakah saat ketakaburan diri yang ‘sok tahu’ selanjutnya kan menutup hati kita dari tidak merasa berdosa dan kenikmatan ibadah Allah cabut karena marahnya IA pada kita, lantas apa yang kan kita katakan padaNya pada hari saat kita menghadapNya ?”
Merenungi, untuk diri. Wahai Allah, maafkan Lady ini, saat pernah seperti itu.
Sumber
:)
ReplyDelete