Catatan Pilpres 2014

pilpres 2014
Sang Pena - Satu kata: menarik! itulah yang saya simpulkan untuk Pilpres tahun ini, 2014. Bagaimana tidak, hampir semua elemen masyarakat, tanpa sekat struktur dan kelas, semua berbondong-bondong ikut membicarakan masing-masing sosok capres-cawapres. Mulai dari petani di sawah-sawah, para penikmat kopi di warung yang hampir rubuh di pojok kampung, guru-guru honorer yang nasibnya diPHP, hingga anak-anak SD yang belum memiliki hak pilihpun turut beropini ria. Apalagi, mereka sosok tak tersentuh yang meminjam tangan lain guna menancapkan kepentingan mereka di negeri ini. Apalagi, para pengamat di negeri ini yang mendadak didewakan, sok pinter - beberapa lagi terbeli netralitasnya untuk membela salah satu calon - taqlid buta saya bilang.

Alhasil, pilpres tahun ini menjadi saingan pildun yang juga tinggal hitungan jam akan digelar. Hampir sama, ada fanatisme pendukung yang meluap-luap di masing-masing pihak. Ada supporter yang selalu membela - hingga tak peduli benar dan salah pihak yang dibelanya. Dan, tentu saja ada penonton, yang masih gamang dalam memilih - bukan karena tak punya pilihan, tapi karena bingung dengan media yang harapannya bisa menjadi pencerah, malah jadi pemecah belah.

Jika kita melihat media, miris sekali rasanya, karena kebanyakan tidak lagi menyampaikan fakta di lapangan. Melainkan mengemas berita dengan isi opini. Data dan fakta diolah sedemikian dahsyat, sehingga sebuah berita selalu berusaha mencari kambing hitam, dan mengunggulkan sosok yang lain. Jika berita ini sampai di pemikir kritis tentu bukan masalah, karena ia akan mencari berita lain sebagai media pembanding. Namun, apa jadinya jika berita yang disulap opini ini ditelan mentah-mentah masyarakat awam, maka yang terjadi adalah gesekan sosial di masyarakat.

Tidak jarang sebuah keluarga pecah kongsi hanya karena perbedaan calon yang didukung. Tidak sedikit tindakan-tindakan tercela yang malah muncul ketika even lima tahunan ini digelar. Katanya demokrasi, tapi elit partai mengajarkan sebaliknya, saling cemooh dan serang dengan bahasa yang kurang baik untuk pendidikan politik di negeri ini.

Masyarakat kita seperti melihat panggung besar dengan sandiwara cerita omong kosong bertema demokrasi, bertema pemilihan umum, yang seingat saya dikatakan LUBERJURDIL ketika SD dulu. Namun, lihatlah di satu sisi mereka menggembor-gemborkan demokrasi, tapi cara mereka bersikap dengan lawan politik sungguh sama sekali bukan sosok seorang yang mengerti demokrasi.

Kita harus sadar betul, siapapun sosok yang kita bela, mereka pasti punya kelemahan dan kekurangan, jadi mohon dibela sewajarnya saja. Mereka juga punya kelebihan dan keunggulan masing-masing, pasti, dan itu cukup disampaikan sewajarnya saja.

Cinta yang berlebihan itu menyakitkan kawan, begitu pula pembelaanmu yang menggila itu bisa jadi bumerang di masa mendatang. Ingat, sewajarnya saja, karena bisa jadi bencimu berubah menjadi cinta di suatu hari, dan cintamu bisa jadi berubah menjadi benci di suatu hari.

Selamat pagi dan selamat beraktivitas, semoga berkah, berlimpah.

Semarang, 11 Juni 2014
Mendung :)

Comments

  1. Why, What dan How... itu kan rumus menulis ya mas? :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar, yang sopan ya :) | Semua komentar akan dimoderasi.

Hendak diskusi dengan penulis, silakan via email di pena_sastra@yahoo.com. Terima kasih

Popular posts from this blog

Your Link Exchange

Forum ICITY: Transformasi Cara Berkomunikasi & Berbagi Solusi

Daftar 50 Promising University Indonesia