Dolly dan Anak-Anak Kita

dolly, anak-anak dolly, sangpena
Resonansi Republika - Asma Nadia - "Rumahku tak jauh dari tempat itu, masih tercoret di ingatan, bagai - mana tempat itu merampas masa kanak-kanakku dan teman-teman sebayaku," tulis Janitra dalam akun Twitter-nya, seorang anak yang besar di lingkungan Dolly, kompleks pelacuran terbesar di Asia Tenggara.

Ia masih ingat ketika kecil, setiap sore jika ingin bermain layang-layang harus melewati lokalisasi yang menyatu dengan rumah penduduk itu. Di gang-gang kecil Dolly, para perempuan me nawarkan tubuh mereka. Tak jauh dari sana, remaja-remaja sibuk menikmati miras.

Sulit untuk mengatakan bahwa Dolly tidak "meracuni" anak-anak yang besar di lingkungan tersebut. Dalam parentingkita mengenal bahwa anak melakukan proses imitasi, meniru. Dan pendidikan dengan contoh adalah pendidikan yang sangat kuat melekat dalam pikiran anak.

Setiap hari anak-anak di lingkungan Dolly mendapat contoh bahwa pelacuran, juga mabuk- mabukan dan berzina, adalah hal yang wajar dan lumrah. Setiap hari mereka melihat dalam keseharian bahwa makan dan minum dari hasil pelacuran, menjadi calo dan mucikari, serta menjual minuman keras seakan halal tanpa cela.

Dengan `pendidikan', setiap hari seperti itu, tidak sedikit anak-anak yang besar di lingkungan Dolly akhirnya menjadi bagian kehidupan dari prostitusi tersebut. Beruntung Janitra tak terperosok dalam kehidupan Dolly lebih dalam. Kedua orang tua memasukkannya ke pondok pesantren, tapi beberapa teman sebayanya tidak seberuntung itu.

Sembilan tahun berlalu setelah meninggalkan Dolly, Janitra kembali menemui teman sebayanya. Ia menjumpai rekan-rekan masa kecilnya kini menjadi calo pelacur di Dolly. Sekuat tenaga Janitra berusaha agar mereka bisa keluar dari kehidupan pelacuran tersebut. Sayang tak semua setuju. Hanya tiga dari enam temannya yang mau mengambil peluang kerja yang ditawarkannya.

"Jujur, sulit bagi anak-anak untuk tidak keracunan kalau tiap berangkat dan pulang sekolah disuguhi pemandangan mesum," tulis Janitra di akhir "kultwitnya". Kisah di atas hanya satu episode bagaimana Dolly merusak masa depan anak-anak kita selain mencemari moral, merusak kesehatan, dan meng ancam keharmonisan rumah tangga pelanggannya. Masih ada begitu banyak catatan memilukan terjadi di Dolly. Tahun lalu diberitakan seorang anak SMP yang berprofesi sebagai mucikari di Dolly, tidak ragu menjual tubuh teman bahkan kakak kandungnya sendiri.

Sebelumnya ada berita tentang Dea Ayu (20 tahun) dan Dini Rahmawati (22) yang menjual sembilan ABG ke M Hasan Ahmad alias Ihsan (44), anggota Komisi A DPRD Sampang asal Desa Samaran, Kecamatan Tambelangan, Sampang, Madura. Keduanya diberi imbalan Rp 200 ribu- Rp 300 ribu ketika menjual ABG kepada Ihsan.

Sedangkan, korbannya diberi "mahar" Rp 2 juta- Rp 3 juta. "Untuk tarif tergantung, kalau ABG yang masih virgin bisa mencapai Rp 3 juta, sedangkan yang tidak perawan Rp 1 juta," papar Dea tanpa malu-malu beberapa waktu lalu. Saking banyaknya perempuan yang ia jual kepada pria yang hobi "jajan", Dea mengaku tak bisa mengingat berapa jumlah korbannya. "Ya tidak kehitung juga."

Warga Jalan Putatjaya, Gang Dolly, Surabaya, itu pun rela melepas keponakannya, SDH, demi imbalan Rp 300 ribu. Sedangkan, keponakannya yang masih perawan `dimahar" Rp 3 juta kepada Ihsan. Semua begitu jelas dan kasat mata terjadi di Dolly.

Namun, nyaris tidak ada aparat, pejabat, ulama, anggota dewan, atau tokoh masyarakat yang ber suara lantang untuk menutup lokalisasi yang beromzet ratusan miliar hingga triliunan tersebut. Sampai akhirnya Surabaya dipimpin seorang Tri Rismaharini.

Pemimpin yang tahu bahwa "penyakit akut" ini harus segera diatasi. Di atas kertas, tantangan yang dihadapi sang wali kota jelas makin berat karena Dolly sekarang lebih menggurita dari setahun lalu, lima tahun lalu, dan tahun-tahun sebelumnya. Tapi, Risma juga tahu Dolly akan semakin kuat di tahun mendatang dan makin meluas jika tidak diatasi dengan segera.

Dengan kesadaran itu, Risma berani memasang badan untuk menutup Dolly. Risma menyadari penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak akan berdampak bagi warga sekitar, karenanya ia tidak hanya mengedepankan penegakan hukum, keamanan, juga kemanusiaan. Akhirnya, setelah ada seorang pemimpin yang berani menegakkan hukum dan keadilan, saatnya berbagai pihak-- terlebih sesama orang tua-- memberi dukungan penuh atas perjuangan tersebut. Setidaknya memberikan suara, "Bu Risma, kami di belakangmu, mendukungmu!"

Semarang, 23 Juni 2014
Hangatnya sore menjelang Ramadhan

Comments

Popular posts from this blog

Your Link Exchange

Forum ICITY: Transformasi Cara Berkomunikasi & Berbagi Solusi

Daftar 50 Promising University Indonesia