Bidadari Merah Jambu #
Entah apa yang ku rasa akhir-akhir ini. Rasa ini tak menentu
semenjak aku kenal dengan dua bidadari cantik yang kini menjadi sahabat ku.
Ya.. siapa lagi kalau bukan Alifa dan Nada. Aku bertemu mereka saat kami
belajar bersama dalam sebuah organisasi sekolah yaitu ROHIS ( Rohani Islam ).
Kami selalu bertiga, ya.. bagaimana tidak Alifa adalah ketua bidang MEDIKOM (
Media Komunikasi Masa ) . Sementara aku dan Nada adalah anggotanya. Walau
begitu, bukan berarti kami tidak dekat dengan anggota yang lainnya, kerena kami
ada dalam satu bidang, jadi kami lebih sering menghabiskan waktu bertiga untuk
sekedar melaksanakan tugas – tugas kami seperti menerbitkan majalah Islami yang
terbaru di sekolah. Ya.. pantas saja jika aku lebih akrab dengan Alifa gadis
supel, periang, pintar matematika, dan cantik. Terlebih jika ia sedang mengenakan
pin kupu – kupu merah jambu yang paling ia sukai. Wajahnya semakin bercahaya.
Nada... ia takkalah pintarnya dengan Alifa, Nada juga pintar matematika, di
tambah ia menguasai bahasa Inggris. Bulu matanya yang lebih lentik dibanding
aku dan Alifa membuat dia tampil selalu
cantik. Ditambah tinggi badannya yang mecapai 165 cm menambah kesempurnaan
parasnya. Sedangkan Aku, Ina yang berkulit sawo matang, tinggiku hanya 155cm,
dan aku memiliki berat badan 47 kg . Aku tak sepandai mereka dalam berbahasa
Inggris, kemampuanku hanya pada bahasa Sunda. Matematikaku juga tak sehebat
mereka, paling besar aku mendapat nilai matematika sekitar 6,5 atau 7. Tak
lebih dari itu . Namun... ada satu hal yang membuat kami sama, kami memiliki
hobi yang yang sama MTQ ( Musabaqoh Tilawatil Qur’an ). Kami sering sekali berlatih bersama.
Melantunkan ayat – ayat Al-qur’an dengan kemerduan suara yang kami punya,
yaa...menurut kami suara kami indah.
Hari ini akan diadakan seleksi bagi
para siswa yang tertarik mengikuti lomba yang di adakan oleh MTS Al-Aulia. Tak ubahnya
seperti SMA kami SMAN 1 Leuwilaing yang setiap tahunnya mengadakan perlombaan
yang dikenal dengan PELANGI ( Perlombaan Antar Generasi Islam ), acara di MTS
Aulia itu bernama Islamic Competition. Acara itu di ikuti oleh
siswa/siswi sederajat se- Bogor Raya. Jadi pada acara yang satu ini, pihak
sekolah sangat hati-hati dalam memilih calon peserta. Lomba itu terdiri dari
lomba Da’i, MTQ, Puisi, dan Nasyid. Bapak Asep selaku pembina Rohis SMAN 1
Leuwiliang, mulai melakukan tahap penyeleksian. Beliau tak segan- segan
mendatangkan jurinya yaitu Ki Endom. Ki Endom ini sangat teliti dalam masalah
penilaian. Aku, Alifa, dan Nada tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku
pun tak tahu berapa orang yang akan mengikuti lomba itu. Pilihan suratnya yaitu
Qs. Al- Baqarah ayat 184 dan Qs. Al-Baqarah ayat 215-216. Alifa dan Nada
memilih Qs. Al- Baqarah ayat 184, sedangkan aku memilih Qs. Al-Baqarah ayat
215-216. Pada saat itu jumlah peserta sangat banyak sekitar 42 orang. Tapi...
dicoba saja.
Satu pekan telah berlalu.. akhir-akhr
ini aku jarang sekali melihat Alifa dan Nada. Mungkin karena kelas kita
berbeda, atau mungkin sedang ada kesibukan lain. Setiap kali rapat aku juga
jarang bercerita banyak pada mereka. Setiap kali aku baru mau mulai ceritaku,
seketika itu juga mereka pergi. Entah kemana. Tidak satu alasan pun yang mereka
berikan padaku. Aku hanya tersenyum saat mereka meninggalkanku. Begitu juga
pada rapat kali ini mereka tak hadir.
“ Ali.. kamu tahu kenapa Nada dan Alifa tidak datang hari ini ?” Tanyaku pada Ali
selaku ketua pasti dia yang menerima berbagai alasan dari para anggotanya.
“ Oh.. lusa mereka akan mengikuti lomba Islamic competition itu Na.. jadi sekarang
mereka latihan. Memangnya kamu belum tahu ?” Tanya Ali dengan wajah herannya.
“ Emmm... belum Li.. aku baru tahu dari Ali. Makasih yah.” Jawabku singkat.
“ Lomba MTQ itu diambil peserta 3 orang Na, dari sekolah kita mengirimkan Habibi, Alifa, dn Nada.”.
“ Pengumuman pemenang seleksi itu melalui pesan singkat Li ?” Tanyaku pada Ali.
“ Iya.. Aku yang kirim pesan singkatnya itu. Memangnya pesan itu tidak kau baca
Na?”.
“ Tidak. Kapan ngirim pesan itu ?” Tanyaku.
“ Satu pekan yang lalu. Sehari setelah pelaksanaan seleksi itu. Aku heran mengapa
pesan itu tak terkirim padamu.” Sambung Ali.
“ Entahlah .” Kata ku dengan muka yang sangat datar.
“ Na.. ternyata pesanmu ada di kotak keluar ponselku. Afwan Na aku tidak teliti.
Pantas saja kamu tidak menerima pesan itu.“ Kata Ali dengan wajah bersalahnya.
“ Hemmm... sudah lah lupakan saja. Aku tidak akan mempermasalahkan hal ini.”
Kataku dengan wajah yang masih saja datar.
Aku bergegas meninggalkannya. Menuju ke kursiku karena rapat akan segera dimulai.
“ Mengapa mereka bersikap seperti itu, padahal bicara saja yang sejujurnya. Sebenarnya apa yang terjadi. Jika aku tahu mereka yang lolos seleksi itu, pasti aku juga senang mendengarnya. Ga sembunyi-sembunyi seperti ini. Apa yang ada difikiran mereka saat ini tentang aku ? Aku bukan anak kecil yang gampang nangis. Hatiku lebih sakit ketika mereka bersikap sembunyi-sembunyi seperti ini.” Gumamku.
Seperti biasa rapat selesai pukul 16.00. Aku segara ke mushola untuk melaksanakan Salat Asar. Kulihat dilemari sepatu ini ada sepatu mereka. Ternyata mereka telah terlebih dahulu salat di banding aku. Dari kejauhan ku lihat mereka sedang asik berbincang – bincang. Aku takut, aku salah bersikap di hadapan mereka.
“ Bagaimana jika mereka tahu bahwa aku kecewa dengan sikap mereka ?, bagaimana
jika mereka tahu bahwa aku ingin marah dan menegur sikap mereka.?” Gumamku
sambil perlahan melepas sepatuku.
“ Na... rapatnya sudah selasai ?” Tanya Alifa padaku.
“ Baru saja kami mau ke ruang rapat.” Sambung Nada.
“ Iya.. rapatnya baru saja selesai.” Jawabku.
“ Kamu mau langsung pulang Na ? “ Tanya Nada.
“ Iya. Setelah selasai salat.” Jawabku.
“ Pulang bareng kami yah Na.. sudah lama sekali kita tidak bersama. Aku kangen sama
canda mu Na..” Kata Nada sambil merangkulku.
“ Iya. Tunggu sebentar.”
Selepas salat kami pulang. Selama diperjalan aku hanya terdiam. Aku hanya jadi penonton mereka. Sebenarnya aku masih berharap mereka membicarakan acara lomba mereka itu. Tapi, tidak ada satu kalimat yang keluar dari pembicaraan mereka tentang hal itu. Aku berusaha melupakan hal itu. Aku berharap aku bisa segera sampai kerumah dan melupakan semuanya. Perjalan terasa sangat lama. Hal itu karena aku sangat sulit mengendalikan amarahku ini, dan menahan air mata yang sebenarnya ingin aku keluarkan di depan mereka. Setelah bersusah payah mengendalikan emosi ini, selama 30 menit, akhirnya aku sampai juga. Aku berpamitan dengan mereka, karena jarak rumah mereka masih sekitar 10 menit lagi dari rumahku.
Selepas Salat Isya aku memberanikan diri untuk mengirimkan pesan singkat pada mereka, sebagai bentuk ucapan selamat atas lolos dari seleksi, dan ingin memberikan semangat untuk lusa nanti. Tapi, akhirnya aku mengurungkan niat itu. Semalaman aku memikirkan mereka, mengapa mereka bersikap seperti itu padaku. Sedangkan aku selalu memberikan kabar pada mereka. Setiap malam kami selalu bercakap – cakap lewat pesan singkat, tapi semenjak ada acara itu tak satu pesan dari mereka masuk ke ponselku. Padahal setiap harinya hanya pesan dari merekalah yang aku tunggu. Hanya karena pesan dari meraka hati ini sangat senang. Aku bisa tertawa setiap harinya. Hariku berwarna dengan hadirnya mereka dihidupku yang sepi menurutku. Ya.. bagaimana tidak orang tua ku sibuk dengan urusannya. Seolah tidak ada waktu untukku bercerita. Karena hal itulah aku mencurahkan semua yang ku rasa pada mereka yang aku sudah anggap sebagai keluargaku sendiri. Karena hal itu pulalah aku memberikan semua rasa sayang ku pada meraka. Karena kita sering sekali bertukar cerita, ada hal yang baru pertama kali aku rasakan, entahlah rasa apa itu. Terkadang rasa itu bisa membuatku tenang, dan terkadang bisa membuatku lemas seperti sekarang ini. Sebenarnya masalah ini kecil, namun tetap saja hati ini tidak menerimanya. Tapi,bagaimana pun sikap mereka terhadapku, tidak ada rasa benci sedikit pun pada mereka. Tetap saja rasa sayang ini pada mereka tetap utuh. Ya utuh. Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 01.00. Mata ini masih saja belum mau untuk terpejam. Pipi ini masih basah karena air mataku. Mataku memerah dan bengkak. Sekuat inikah rasa sayang, bisa membuatku lemah seperti ini. Karena mata ini belum juga terpejam, aku mengambil selembar kertas polos berwarna Biru dan pena yang berwarna merah jambu. Aku ingin mengirimkan surat untuk para bidadariku itu.
“ Ali.. kamu tahu kenapa Nada dan Alifa tidak datang hari ini ?” Tanyaku pada Ali
selaku ketua pasti dia yang menerima berbagai alasan dari para anggotanya.
“ Oh.. lusa mereka akan mengikuti lomba Islamic competition itu Na.. jadi sekarang
mereka latihan. Memangnya kamu belum tahu ?” Tanya Ali dengan wajah herannya.
“ Emmm... belum Li.. aku baru tahu dari Ali. Makasih yah.” Jawabku singkat.
“ Lomba MTQ itu diambil peserta 3 orang Na, dari sekolah kita mengirimkan Habibi, Alifa, dn Nada.”.
“ Pengumuman pemenang seleksi itu melalui pesan singkat Li ?” Tanyaku pada Ali.
“ Iya.. Aku yang kirim pesan singkatnya itu. Memangnya pesan itu tidak kau baca
Na?”.
“ Tidak. Kapan ngirim pesan itu ?” Tanyaku.
“ Satu pekan yang lalu. Sehari setelah pelaksanaan seleksi itu. Aku heran mengapa
pesan itu tak terkirim padamu.” Sambung Ali.
“ Entahlah .” Kata ku dengan muka yang sangat datar.
“ Na.. ternyata pesanmu ada di kotak keluar ponselku. Afwan Na aku tidak teliti.
Pantas saja kamu tidak menerima pesan itu.“ Kata Ali dengan wajah bersalahnya.
“ Hemmm... sudah lah lupakan saja. Aku tidak akan mempermasalahkan hal ini.”
Kataku dengan wajah yang masih saja datar.
Aku bergegas meninggalkannya. Menuju ke kursiku karena rapat akan segera dimulai.
“ Mengapa mereka bersikap seperti itu, padahal bicara saja yang sejujurnya. Sebenarnya apa yang terjadi. Jika aku tahu mereka yang lolos seleksi itu, pasti aku juga senang mendengarnya. Ga sembunyi-sembunyi seperti ini. Apa yang ada difikiran mereka saat ini tentang aku ? Aku bukan anak kecil yang gampang nangis. Hatiku lebih sakit ketika mereka bersikap sembunyi-sembunyi seperti ini.” Gumamku.
Seperti biasa rapat selesai pukul 16.00. Aku segara ke mushola untuk melaksanakan Salat Asar. Kulihat dilemari sepatu ini ada sepatu mereka. Ternyata mereka telah terlebih dahulu salat di banding aku. Dari kejauhan ku lihat mereka sedang asik berbincang – bincang. Aku takut, aku salah bersikap di hadapan mereka.
“ Bagaimana jika mereka tahu bahwa aku kecewa dengan sikap mereka ?, bagaimana
jika mereka tahu bahwa aku ingin marah dan menegur sikap mereka.?” Gumamku
sambil perlahan melepas sepatuku.
“ Na... rapatnya sudah selasai ?” Tanya Alifa padaku.
“ Baru saja kami mau ke ruang rapat.” Sambung Nada.
“ Iya.. rapatnya baru saja selesai.” Jawabku.
“ Kamu mau langsung pulang Na ? “ Tanya Nada.
“ Iya. Setelah selasai salat.” Jawabku.
“ Pulang bareng kami yah Na.. sudah lama sekali kita tidak bersama. Aku kangen sama
canda mu Na..” Kata Nada sambil merangkulku.
“ Iya. Tunggu sebentar.”
Selepas salat kami pulang. Selama diperjalan aku hanya terdiam. Aku hanya jadi penonton mereka. Sebenarnya aku masih berharap mereka membicarakan acara lomba mereka itu. Tapi, tidak ada satu kalimat yang keluar dari pembicaraan mereka tentang hal itu. Aku berusaha melupakan hal itu. Aku berharap aku bisa segera sampai kerumah dan melupakan semuanya. Perjalan terasa sangat lama. Hal itu karena aku sangat sulit mengendalikan amarahku ini, dan menahan air mata yang sebenarnya ingin aku keluarkan di depan mereka. Setelah bersusah payah mengendalikan emosi ini, selama 30 menit, akhirnya aku sampai juga. Aku berpamitan dengan mereka, karena jarak rumah mereka masih sekitar 10 menit lagi dari rumahku.
Selepas Salat Isya aku memberanikan diri untuk mengirimkan pesan singkat pada mereka, sebagai bentuk ucapan selamat atas lolos dari seleksi, dan ingin memberikan semangat untuk lusa nanti. Tapi, akhirnya aku mengurungkan niat itu. Semalaman aku memikirkan mereka, mengapa mereka bersikap seperti itu padaku. Sedangkan aku selalu memberikan kabar pada mereka. Setiap malam kami selalu bercakap – cakap lewat pesan singkat, tapi semenjak ada acara itu tak satu pesan dari mereka masuk ke ponselku. Padahal setiap harinya hanya pesan dari merekalah yang aku tunggu. Hanya karena pesan dari meraka hati ini sangat senang. Aku bisa tertawa setiap harinya. Hariku berwarna dengan hadirnya mereka dihidupku yang sepi menurutku. Ya.. bagaimana tidak orang tua ku sibuk dengan urusannya. Seolah tidak ada waktu untukku bercerita. Karena hal itulah aku mencurahkan semua yang ku rasa pada mereka yang aku sudah anggap sebagai keluargaku sendiri. Karena hal itu pulalah aku memberikan semua rasa sayang ku pada meraka. Karena kita sering sekali bertukar cerita, ada hal yang baru pertama kali aku rasakan, entahlah rasa apa itu. Terkadang rasa itu bisa membuatku tenang, dan terkadang bisa membuatku lemas seperti sekarang ini. Sebenarnya masalah ini kecil, namun tetap saja hati ini tidak menerimanya. Tapi,bagaimana pun sikap mereka terhadapku, tidak ada rasa benci sedikit pun pada mereka. Tetap saja rasa sayang ini pada mereka tetap utuh. Ya utuh. Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 01.00. Mata ini masih saja belum mau untuk terpejam. Pipi ini masih basah karena air mataku. Mataku memerah dan bengkak. Sekuat inikah rasa sayang, bisa membuatku lemah seperti ini. Karena mata ini belum juga terpejam, aku mengambil selembar kertas polos berwarna Biru dan pena yang berwarna merah jambu. Aku ingin mengirimkan surat untuk para bidadariku itu.
“ Untuk mu para bidadari merah jambuku... J
Alifa, Nada... aku sangat bersyukur kalian bisa lolos dalam tahap seleksi di sekolah. Rasa senang ini tidak tergambarkan. Ketika Ali memberitahu ku akan keberhasilan kalian. Setelah satu pekan lebih kita tidak bercerita, dan saling menanyakan kabar, kalian pun sangat sibuk dengan urusan kalian. Seolah-olah kalian menlupakan kehadiranku di samping kalian. Alifa, Nada, maafkan aku yang masih belum bisa mengendalikan emosiku. Maafkan sikapku yang masih merasa cemburu saat kalian bermain bersama yang lain tidak berasamaku. Maafkan aku yang setiap jam istirahat, aku hanya memperhatikan kalian di sela-sela jendela ruang kelas kalian, itu semua aku lakukan karena aku sangat rindu kehadiran kalian. Apa yang kalian sembunyikan padaku membuat sikapku berbeda pada kalian. Tapi.. ada hal yang perlu kalian tahu bahwa aku tidak mau kalian terluka, aku tidak mau kalian tersakiti oleh orang lain, aku tidak mau ada orang lain yang menjelek-jelakan nama kalian. Kalian sangat berharga dihidupku.
wahai para bidadari merah jambuku... aku pernah membaca sebuah hadist, yaang mengatakan “ jika kamu memiliki rasa cinta, maka ungkapkanlah karna hal itu akan menambah rasa cinta itu.” Karena dasar hadist itulah aku berani mengatakan hali ini pada kalian.. Alifa, Nada.. kalian lah bidadari merah jambu itu... aku sayang kalian. Aku tidak peduli kalian akan menerima sayang ini atau tidak, namun.. aku hanya berharap kalian akan selalu menyimpan dengan rapih harapan kita bersahabat selamanya.
wahai para bidadari.. tanpa kita sadari kita telah membentuk tali persahabatan kita menjadi simpul-simpul tali yang indah, yang semakin memperkuat tali persahabtan kitaa.. tetaplah jadikan simpul itu semakin kuat dengan rasa sayang ini. Simpul itu akan mengeluarkan warna merah jambu ketika kita saling menyayangi. Aku sangat bersyukur Allah telah memperkenalkan aku dengan kalian. Karena kalianlah aku merasakan rasa sayang yang sangat luar biasa ini. Yang terkadang aku tidak bisa mengendalikannya dan aku bisa lemas dibuatnya. Sampai kapan pun rasa sayang ku pada kalian akan tetap utuh. Akan tetap sama seperti awal kita bertemu. Semoga Allah meridhoi persahabatan kita ini., kenanglah aku dalam setiap do’a Rabitahmu.... sukses untuk lomba yang kita idam-idamku sejak dulu. Ternyata tersampaikan juga. Allah memang yang Maha ber-Kuasa atas segala sesuatu. Sungguh tepat ayat yang aku baca pada seleksi itu, Qs. Al- Baqarah ayat 216 “...boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu,.. dan kamu menyenangi sesuatu padahal itu tidak baik bagimu..Allah Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”. Aku memang ingin mengikuti lomba ini, tapi mungkin Allah memberikan jalan lain. Mungkin ini bukan jalanku. Aku yakin ini yang terbaik untuk kalian dan untukku. Sekali lagi berikan yang terbaik. Do’aku selalu menyertai langkah kaki kalian wahai bidadari merah jambuku. J
Sahabatmu
Ina.. J
Ina.. J
Aku
lipat surat kecil itu, dan ku beri pita berwarna merah jambu agar mempercantik
penampilannya. Esok akan ku selipkan surat ini meja belajar mereka. Setelah
mengungkapkan semuanya hatiku menjadi
tenang, dengan ketenangan itulah aku mulai mengantuk.
Aku segera berbaring di tempat tidurku, sambil membayangkan wajah para bidadari merah jambu itu. Semakin lama, rasa sayang ini semakin utuh. Bagiku cukup dengan hadirnya hatiku menjadi nyaman, lengkap rasanya hidupku ini. Apapun tanggapan mereka nanti itu hak mereka. Sampai sekarang dan selamanya Alifa dan Nada akan tetap menjadi bidadari merah jambuku.
“ Ya.. Allah titipkanlah salamku pada mereka.. katakanlah bahwa saat ini aku sangat meridukannya. Jagalah mereka.. dan tetapkanlah mereka sebagai bidadari merah jambu di dalam JannahMu.”
Penulis: Venny Oktaviani
Comments
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar, yang sopan ya :) | Semua komentar akan dimoderasi.
Hendak diskusi dengan penulis, silakan via email di pena_sastra@yahoo.com. Terima kasih