Cerpen: Berjalan Untuk Kembali #

Berjalan Untuk Kembali, sangpena.com
sangpena.com | Ketika kubuka lembaran yang telah usang dengan tak sengaja. Lantas aku menoleh ke arahnya. Sungguh, hatiku rasanya terisis. Ah, payah. Lembaran yang telah kututup rapat kini kembali mengisi ruang otakku. Mereka bergelantungan bak monyet dalam hutan rimba. Menakutkan.

Lembaran itu kusebut masa lalu.

“Aku tak suka dengan aturan Mamak. Sudah berapa kali aku bilang. Aku ingin mengurusi hidupku sendiri!” Bentakku pada Mamak yang seharusnya kuhormati. Aku? Mana peduli dengan sebuah kata ‘hormat’. Bukankah selama ini aku telah menghilangkan kehormatanku demi makhluk berstatus manusia dan bergelar pria itu?

“Mengurusi hidupmu? Anakku, apa yang telah kau perbuat dengan hidupmu? Lihatlah pakaianmu! Kemudian dandananmu, tingkah lakumu, tutur katamu.....”

“Sudahlah Mak, apa yang Mamak mau? Membuatku kembali? Tak mungkin! Aku sudah terlanjur tak terhormat. Lalu siapa lagi yang aku menghormatiku? Anak-anakku kelak? Mustahil! Orang sekitar? Mamak lupa terakhil kali tetangga sebelah menyebutku “WANITA JALANG!!” Mamak lupa??” Aku memutus pembicaraan Mamak. Ada rasa sesak dalam dadaku ketika kusebut diriku sendiri sebagai wanita jalang.

“Itu semua karena tingkahmu Nak.. Berubahlah. Apa yang tak mungkin menurutmu adalah sebuah kemungkinan bagi Allah.” Ada air yang meluncur dari mata sayu Mamak. Lagi, aku membuatnya menangis.

“Jangan bawa-bwa Tuhan dalam hal ini!” Sekali lagi, aku berkata ketus sambil beranjak dari sofa butut milik keluarga ini.

Setelah pembicaraan itu. Aku tak pernah melihat Mamak. Hari-hari kuhabiskan di gang-gang sempit bersama temanku yang lain. Aku benar-benar tak peduli lagi dengan jasadku. Yang aku inginkan bagaimana caranya bertahan hidup dan mendapatkan uang tanpa sentuhan tangan Mamak.

Sekitar setengah tahun aku melakukan pekerjaan malamku. Aku possitive mengidap HIV AIDS. Kufikir itu karena aku sering berganti pasangan dengan pria-pria bule berhidung belang. Lagi-lagi aku tak peduli. Aku biarkan tanpa memikirkan penyakitku.

Tubuhku mulai kurus. Badan yang kupuja-puja dahulu kini telah menciut bagai tanaman tak disiram berminggu-minggu. Pandanganku kabur, aku sering demam. Aku tahu, penyakit ini lama kelamaan akan menggerogoti seluruh tubuhku. Dan akhirnya kematian mengucapkan selamat datang. Aku tak takut kematian, bahkan itulah yang aku tunggu. Aku malas hidup dengan cacian.

“Sayang, kau sedang apa di sini? Sudah malam. Ayo masuk..” Mamak datang membelai kerudungku. Aku tersenyum mengangguk.

Dan seketika lamunanku terhenti.

Aku selamat dari maut. Masa laluku yang suram itu kini telah berubah menjadi serangkai cerita yang indah. Seminggu setelah aku demam tinggi. Mamak menjemputku di kost tempat aku ‘bekerja’. Mamak membawaku pulang ke rumah, aku hanya diam. Terpaku dengan sosok tegarnya yang masih mau menerima segala keburukanku. Dengan aib yang telah aku sematkan dalam keluarga ini.

Mamak masih tersenyum mendengar hinaan tetanggaku. Sampai masa itu tiba...

Malam dingin, aku terbangun dari tidur lelapku. Ku tolehkan kepalaku sejenak pada perempuan tangguh itu. Ah, berkeping hatiku melihat. Sesak menggantung di tenggorokan. Aku tekatkan untuk kembali pada fitrahku sebagai muslimah..

Malam itu juga, malam ke tujuh belas aku di rumah bersama Mamak. Akhirnya aku bangun tepat disepertiga malam. Ada rindu yang tiba-tiba menyeruak. Ada ketenangan yang tiba-tiba tersalurkan melalui do’a. Aku pun kembali padaNya...

Sebulan kemudian..
Aku memproklamirkan pada Mamak bahwa aku akan berjilbab sesuai tuntutannya. Lantas ia tersenyum dan berkata.

“Ini bukan tuntutanku. Ini adalah tuntunanNya, sayang. Berjilbablah. Mamak akan selalu mendukungmu.”

Keesokan harinya, aku keluar kamar menggunakan gamis panjang, kerudung sepergelangan tangan. Pakaianku kini telah sesuai syariatNya. Shalat malam aku perkuat. Dalam do’aku aku meminta agar Allah akhirnya berbaik hati memberiku kesembuhan. Memberiku waktu lebih lama lagi untuk berjalan kembali padaNya...

Do’aku dikabulkan. Menurut diagnosa dokter aku tak lagi menderita HIV AIDS. Entahlah. Aku tak tahu bagaimana Dia memberiku kesembuhan itu. Penyakit yang kata orang tak mampu disembuhkan. Kini hilang total. Tubuhku kembali berisi, mataku yang sayu sudah segar bak buah leci. Bibirku yang kering kerontang kini telah merah kembali. Tangan dan kaki yang sering lunglai kini telah kuat.

Mamak menangis melihatku. Aku pun menangis melihat kenyataan. Aku sekarang mengerti. Aku berjalan untuk kembali. Allahu Rabbi, terimakasih telah memberikanku waktu untuk hidup lebih lama. Aku mengaku salah. Aku terlampau gila akan dunia, hingga lupa alam yang kekal di akhirat kelak...

Ketika dahulu kudengar ‘perempuan jalang’ dari bibir mereka. Kini yang kudengar adalah sapaan hangat “perempuan shalehah” dari mulutnya. Aamiin. Semoga Allah menutupi aibku selama ini...

Benar kata Mamak..
Hal yang tak mungkin bagi manusia adalah kemungkinan bagiNya..

Penulis:  Wulan Ari Arviati | Twitter: @wulanarya @aryawulan

Comments

  1. kunjungin juga kk cerpen berjalan ku
    kalo bisa sih komentar dan sarannya kk maklum masih amatir hehhe
    https://rasastrowberry.blogspot.co.id/

    ReplyDelete

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar, yang sopan ya :) | Semua komentar akan dimoderasi.

Hendak diskusi dengan penulis, silakan via email di pena_sastra@yahoo.com. Terima kasih

Popular posts from this blog

Your Link Exchange

Forum ICITY: Transformasi Cara Berkomunikasi & Berbagi Solusi

Daftar 50 Promising University Indonesia