Filantropi atau Tanggung Jawab Sosial?

Artikel Geovanie (Koran Tempo, 20 Agustus) mengenai filantropi
menyajikan fakta menarik seputar perilaku perusahaan belakangan ini.
Dengan menggabungkan penggambaran mengenai kecenderungan di bagian
dunia lain serta di Indonesia, artikel tersebut berhasil meyakinkan pembaca bahwa
perilaku filantropis memang akan meningkatkan citra perusahaan dan pada gilirannya
nilai kompetitif perusahaan juga akan meningkat. Singkatnya, menurut Geovanie,
“…tak ada yang sia-sia dari kerja filantopi ini.”
Di sisi lain, artikel Lubis (Jakarta Post, 13 Agustus) menggunakan istilah CSR,
Corporate Social Responsibility, atau tanggung Jawab Sosial Perusahaan untuk
menjelaskan kecenderungan serupa. Istilah tersebut juga digunakan oleh Geovanie,
namun dituliskan dalam tanda kutip yang dapat dibaca sebagai penerimaan setengah
hati. Artikel ini hendak memberi pengertian yang lebih baik mengenai duduk
persoalan seputar kedua istilah.
Sejak lama dunia usaha percaya bahwa satu-satunya tanggung jawab mereka adalah
membuat keuntungan bagi pemodalnya. Bagi pengikut pendirian Friedman (1970),
memasukkan konsep tanggung jawab lain bagi perusahaan merupakan kesalahan.
Dengan meningkatnya tanggung jawab, menurut mereka, perusahaan akan dibebani
biaya produksi yang lebih tinggi dan hal ini akan direspons dengan jalan menurunkan
upah atau menaikkan harga jual produk. Kedua hal ini, masih menurut mereka,
bertentangan dengan kepentingan perusahaan dan juga masyarakat luas.
Namun demikian, sejak 1960an telah nampak banyak masalah sosial dan lingkungan
yang disebabkan oleh operasi perusahaan (Warhurst, 2001). Pertanyaan penting yang
diajukan adalah siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Jawaban terbanyak
diajukan perusahaan adalah pemerintah. Mengapa demikian? Karena, dari sudut
pandang mereka, sepanjang perusahaan telah menjalankan kerangka legal termasuk
pembayaran pajak, maka perusahaan telah memenuhi kewajibannya. Dengan
demikian, apapun yang menjadi konsekuensi dari perilaku perusahaan yang legal
haruslah menjadi tanggung jawab pemerintah.
Analisis yang lebih objektif atas berbagai masalah sosial dan lingkungan itu ternyata
menghasilkan jawaban yang berbeda sama sekali. Regulasi formal yang dibuat oleh
pemerintah ternyata tidak pernah cukup untuk menangani masalah yang timbul.
Karenanya, perusahaan haruslah mengadopsi kenyataan bahwa ada dua bentuk
perijinan yang harus dipatuhi oleh perusahaan agar dapat beroperasi dengan aman,yaitu ijin legal dari pemerintah dan ijin sosial dari masyarakat. Untuk memperoleh
ijin sosiallah perusahaan harus melakukan kegiatan sosialnya.
Dalam pendirian Warhurst, ada dua konsep kunci yang harus dipegang untuk
memperoleh ijin sosial itu, yaitu pembangunan berkelanjutan serta tanggung jawab
sosial perusahaan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh WCED (1987)
sebagai ‘development which meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs’. Definisi yang lebih operasional dikemukakan oleh
Serageldin (1996) sebagai ‘a process whereby future generations receive as much capital per
capita, or more than, the current generation has available.’ Yang dimaksud dengan kapital
dalam pembangunan berkelanjutan ini mencakup kapital natural, ekonomi, sosial,
budaya, politik dan personal (Ife, 2002). Sementara, tanggung jawab sosial
perusahaan didefinisikan Warhurst (2001) sebagai ‘internalisation by the company of the
social and environmental effects of its operations through proactive pollution prevention and social
impact assessment so that harm is anticipated and avoided and benefits are optimised’.
Dengan menggabungkan kedua pengertian itu, maka aktivitas sosial perusahaan
bertujuan untuk memperoleh ijin sosial dari masyarakat dengan jalan menjaga nilai
kapital yang dipergunakan oleh generasi sekarang dan akan diwariskan ke generasi
selanjutnya melalui minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positif dari
operasi perusahaan.
Kalau kemudian kita membagi operasi perusahaan menjadi yang memiliki dampak
besar terhadap masyarakat dan lingkungan dan yang memiliki dampak relatif kecil,
maka kita bisa mengambil kesimpulan lebih jauh. Perusahaan yang berdampak besar
terhadap lingkungan misalnya, haruslah menyadari bahwa penurunan kapital natural
harus dikompensasi oleh meningkatnya bentuk kapital lainnya. Namun sebelumnya
perlu diperhatikan bahwa penurunan kapital natural yang dapat ditoleransi juga
memiliki ambang batas tertentu. Sementara, perusahaan yang memiliki dampak
negatif kecil bisa langsung meningkatkan berbagai jenis kapital itu.
Jelaslah bahwa konsep tanggung jawab sosial perusahaan sesungguhnya lebih besar
daripada konsep filantropi yang sukarela. Konsep tanggung jawab sosial sama sekali
tidak menafikan sifat sukarela dari kegiatan sosial perusahaan, sebagaimana yang
didukung oleh kelompok pengusung filantropi, namun terlebih dahulu menugaskan
perusahaan untuk meminimisasi dampak negatif yang ditimbulkannya, sebelum
melakukan maksimisasi dampak positif secara sukarela. Tentu saja hal tersebut tidak
berarti bahwa seluruh dampak negatif harus hilang terlebih dahulu sebelum dampak
positif dapat diperbesar.
Berbagai literatur menyebutkan empat skema dalam menjalankan tanggung jawab
sosial perusahaan, yaitu kontribusi pada program pengembangan masyarakat,
pendanaan kegiatan sesuai dengan kerangka legal, partisipasi masyarakat dalam bisnis,
dan tanggapan atas tekanan kelompok kepentingan.
Kontribusi pada pengembangan masyarakat, yaitu pemberdayaan kelompokkelompok
paling lemah dalam masyarakat, banyak dipilih perusahaan ketika
kapabilitas pemerintah dalam hal tersebut dipandang masih memerlukan sokongan.
Pendanaan kegiatan berdasarkan kerangka legal biasa dilaksanakan ketika pemerintah
memiliki suatu kerangka yang cukup kokoh untuk mengatur hal ini. Di Amerika
Serikat, misalnya, pendanaan kegiatan banyak dilakukan oleh perusahaan karenadeduksi pajak bisa diperoleh kalau mereka berkontribusi pada organisasi nirlaba
kategori 501 (c) (3), yaitu organisasi religius dan amal. Indonesia masih harus
memikirkan hal serupa.
Mengikutsertakan masyarakat lokal dalam berbagai kegiatan bisnis yang dapat atau
berpotensi mereka laksanakan akan meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap
perusahaan. Tanggapan terhadap kelompok kepentingan juga harus dilakukan oleh
perusahaan. Sejak 1997 kita menyaksikan berbagai tuntutan masyarakat atas operasi
perusahaan, khususnya di sektor ekstraktif. Berbagai tuntutan itu memang valid,
namun tidak sedikit juga yang palsu dan ditunggangi para free rider untuk memperoleh
keuntungan dari situasi itu. Penapisan berdasarkan validitas klaim harus dilakukan,
dan klaim yang valid harus direspons oleh perusahaan secara memadai.
Kiranya, keempat skema tanggung jawab sosial perusahaan harus menjadi agenda
perusahaan yang ingin beroperasi dalam jangka panjang di Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Your Link Exchange

Forum ICITY: Transformasi Cara Berkomunikasi & Berbagi Solusi

Daftar 50 Promising University Indonesia