Makna Waktu Dari Nenek #
Bila waktu telah memanggil, teman sejati adalah
amal..
Bila
waktu telah terhenti, teman sejati adalah sepi..
(Opick-Bila
waktu telah berakhir)
Senja
di sore ini menutup pembicaraanku dengan mereka, teman-temanku. Tema untuk
pembicaraan kali ini adalah rencana liburan semester depan. Aku memang lebih
suka berkumpul dengan teman-temanku, yang isi dari perkumpulan itu hanyalah
pembicaraan-pembicaraan yang mungkin jauh dari manfaat. Ada memang, kami
membicarakan hal yang bermanfaat, tapi itu jarang! Jarang sekali, lebih banyak
kami mengisinya dengan senda gurau, olokan, film dan bahkan bernyanyi-nyanyi.
Bisa kau bayangkan, betapa sia-sianya aku mempergunakan waktu. Astagfirullah,
aku selalu menangis sendiri jika mengingat hal itu, aku malu ! sangat malu,
malu kepada ALLAH dan malu kepada diriku sendiri. Betapa bodohnya aku! aku yang
mengerti esensi waktu dan manfaatnya, namun dalam pengaplikasiannya sangat
jauh. Astagfirullah, lagi-lagi aku beristigfar, tapi tak cukup rasanya untuk
menghapus segala kelalaianku meski sampai bibir ini berbusa. Tak cukup rasanya
membayar waktu yang telah banyak aku sia-siakan.
Ditengah-tengah
kebiasaanku yang selalu menyianyiakan
waktu. ALLAH pun menegurku, menegurku melalui perantara seorang nenek. Saat itu
aku sedang singgah disalah satu masjid di kota ini, bermaksud untuk
melaksanakan sholat maghrib disana. Entah mengapa saat itu aku sangat ingin
mengunjungi masjid itu. Tanpa ada keraguan sedikitpun, ku bawa inginku bersama
deru motor yang aku bawa. Sesampai disana tepat setelah adzan maghrib
berkumandang. Kuparkir sepeda motorku disamping ruangan yang memang disediakan
khusus untuk jama’ah perempuan. Ketika aku memasuki ruangan tersebut. Betapa
terkejutnya aku, ketika melihat jama’ah yang berada disana semuanya adalah nenek-nenek,
tak satupun ada remaja ku lihat disana, dan dengan kedatanganku pun menjadi
satu-satunya jama’ah yang mAsih remaja. Berdesir hati ini, ketika salah seorang
nenek melemparkan sebuah senyuman untukku, aku pun membalas senyuman itu,
senyuman yang tulus, sangat tulus dari lubuk hatiku. Seketika nenek itu
beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan kearahku. Betapa terkejutnya aku
ketika aku ketahui ia hendak mendekat kepadaku, ia berjalan pelan meski dengan
badan yang tidak tegap lagi. aku pun menghampirnya. Ada perasaan tak tega, jika
harus ia yang menghampiriku dengan keadaan yang seperti itu. Setelah jarak
antara aku dan nenek itu hanya berjarak 1 m saja, kulihat ia mengeluarkan
sesuatu dari balik mukena putih yang terbalut rapi di wajahnya. Dari tangan
yang sudah tak sekuat dulu itu, pun nenek itu
menyodorkan kepadaku sebuah mukena. Subhanallah, ia tahu apa yang aku butuhkan.
terasa ada tetesan bening yang terbendung disudut kelopak mataku, ketika aku
mengambil mukena putih dari tangan tulusnya itu. Tak hanya itu, nenek menunjukkan
letak tempat wudhu untuk wanita. Setelah ku ucapkan terima kAsih kepadanya, ku
langkahkan kaki ini menuju tempat yang baru saja nenek itu tunjukkan padaku.
Ada perasaan damai. Sangat damai ketika aku mengambil wudhu ditempat itu, ku
nikmati setiap air yang kubasuh pada setiap bagian anggota badanku yang memang
harus terkena oleh air wudhu.
Setelah
melaksanakan sholat sunnah tahiyyatul masjid. Suara iqomah pun terdengar dari
balik hijab yang menjadi pembatas antara jama’ah laki-laki dan perempuan.
Kulangkahkan kaki menuju ke shaf paling depan karena memang shaf yang ada hanya
satu shaf, tak banyak jama’ah perempuan yang datang untuk melaksanakan sholat
maghrib dimasjid itu. Aku berdiri tepat disamping nenek tadi. Setelah
melaksanakan sholat maghrib dan serangkaian dengan sholat sunnah ba’da maghrib.
Aku berniat untuk meninggalkan masjid itu dan kembali ke kos ku, namun ketika
aku mengembalikan mukena kepada sang nenek, ia pun mengatakan sesuatu yang
membuat perasaanku tak karuan. Ada rasa bahagia namun itu juga merupakan
sindiran pedas untukku.
“Ini pertama
kalinya nenek melihat ada remaja yang berkunjung untuk melaksanakan sholat
berjama’ah dimasjid ini. Nenek begitu bahagia, mAsih ada remaja yang mau menyempatkan
dirinya untuk berkunjung ke masjid ini, disaat ribuan anak yang seusiamu
membuang-buang waktunya dengan percuma. Betapa menyesalnya mereka kelak, ketika
mereka tau, betapa berharganya waktu yang mereka sia-siakan. Jika mereka tidak
mempergunakannya dengan baik, maka waktu itu hanya akan berlalu begitu saja,
tanpa ada manfaat yang mereka peroleh, dan kamu cucuku jangan pernah kau
sia-siakan waktumu hanya untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya, ingat islam
mengajarkan kita untuk meninggalkan urusan yang tidak bermanfaat. “diantara
kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan urusan yang tidak berguna baginya”
(HR. at-Tirmidzi)
GLEK!
Perkataan nenek
itu begitu menancap dihatiku, andai ia tahu, aku tak berbeda jauh dengan
remaja-remaja diluar sana seperti yang ia maksud. Aku begitu sedih. Begitu malu
saat ia membacakan salah satu hadist yang sudah tak asing lagi bagiku. Aku sangat
malu ketika seorang nenek mampu untuk benar-benar mengaplikasikan hadist yang
sangat aku kenal, ia tak hanya memahaminya tetapi melaksanakan betul apa maksud
dari hadist tersebut. Sedangkan aku? Aku yang mAsih memiliki badan kekar dan
energi yang mAsih banyak, dan sangat mampu untuk melaksanakan maksud dari
hadist itu tak mampu untuk ku laksanakan.
Aku jadi
teringat salah satu firman ALLAH didalam AL-Qur’an, dimana didalam ayat itu
ALLAH sampai bersumpah tentang waktu, “Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam
kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta
saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”
(QS.Al-‘Asr : 1-3)
Disana sudah
jelas ALLAH bersumpah bahwa manusia benar-benar berada dalam kerugian. Terkait
dengan ayat pertama surat al-‘asr itu, sekelebat ingatanku tertuju pada semua
aktifitas yang telah aku lakukan, selama ini aku mengaku sebagai seorang
aktivis, tetapi mAsih banyak waktu yang terbuang, aku hanya selalu merasa cukup
dengan apa yang aku lakukan, sehingga ketika ada waktu senggang aku lebih
memilih untuk berkumpul dan hanya memperbincangkan sesuatu yang tanpa makna,
kosong ! tak banyak manfaat yang aku dapat, namun waktu yang terpakai terbuang
begitu saja. Astagfirullah. Pada ayat selanjutnya ALLAH menyebutkan bahwa
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling
menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran”. Ya, sungguh
orang-orang yang beriman yang meyakini akan arti sebuah waktu akan selalu
mengisi waktunya dengan selalu mendekatkan diri pada-NYA, merebut cinta-NYA,
karena kelak ketika kita telah kembali pada-NYA, semua dari anggota badan akan
memberikan kesaksian atas apa yang telah kita kerjakan semasa kita hidup di
dunia, dan tak ada sedikit pun dusta yang mampu di lakukan oleh manusia. Semua
benar-benar akan bersaksi. Begitu terang ALLAH menjelaskan esensi waktu untuk
hamba-NYA.
Sejak saat itu, aku mulai memaknai
“kembali” semuanya. Niatku, hidupku, tujuanku dan tentang impianku. Aku kembali
menata schedule harianku, setidaknya
dengan adanya schedule aku memiliki target atau patokan apa yang akan aku
lakukan sehari-hari.
Sejak
saat itupun aku sering berjumpa dengan nenek Atih. Ya, beliau memang kerap di
panggiil nenek atih oleh nenek-nenek yang lainnya yang juga jama’ah di masjid
At-Taqwa. Belakangan ini juga aku tahu kalau nenek Atih mampu khatam Al-Qur’an 30
juz tiap bulannya, dan jika bulan ramadhan tiba, tak jarang beliau khatam
sampai empat kali. Lagi-lagi aku tercengang dengan cerita itu. Aku merasa kecil
di depan beliau dan sangat kecil di hadapan-NYA. Aku yang mAsih muda dan
memiliki tenaga yang lebih untuk melakukan itu semua ternyata di kalahkan oleh
seorang nenek-nenek yang ketajaman penglihatannya pun sudah melemah, tapi itu
semua tak menyurutkan semangatnya untuk melakukan hal itu. Subhanallah, aku
yang mAsih muda seperti ini pun belum mampu untuk khatam 1x dalam 1 bulannya,
aku biasa khatam 2 bulan 1x, dan pada bulan ramadhan, barulah aku mampu untuk
khatam 1x dalam 1 bulannya. Sejak saat itu aku banyak belajar dari beliau.
Banyak yang aku peroleh dari berdiskusi dengan beliau ba’da sholat isya berjama’ah
dan tak jarang pun nenek-nenek yang lain ikut bergabung dalam diskusi kami.
Mereka semua dengat tak sadar telah menjadi guru buatku, guru yang mengajarkan
aku untuk lebih memaknai pentingnya sebuah waktu, tak hanya memaknainya namun
juga dalam aplikasinya. Mereka juga selalu memberi aku motivasi berlebih ketika
aku sedang berada pada posisi down. Sejak saat itu pula aku tak ingin
dikalahkan oleh nenek atih, kutingkatkan lagi semangat tilawahku, semangat
mengisi waktu dengan hal-hal yang lebih bermakna, aku sering mengatakan jika
nenek atih pun mampu, mengapa aku yang mAsih muda tidak mampu?. Ya, itulah
dialog yang sering aku lontarkan pada diriku sendiri, sebagai pemacu untuk
terus menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Aku
bersyukur ALLAH mAsih menegur kesalahanku, apa jadinya ketika ALLAH tak
menegurku, dan seketika itu malaikat izrail pun mendekatiku dalam keadaan yang
belum sempat aku memperbaiki kesalahanku? Nauzubillah.
Aku
pun bersyukur ALLAH mengirimkan nenek Asih, yang mungkin sengaja ALLAH jadikan
perantara untuk menegurku. Ya, aku yakin itulah skenario ALLAH untukku. Semoga
ALLAH selalu memberikan kesehatan untuknya, agar aku dapat belajar lebih banyak
lagi pada beliau. Aamiin.
Comments
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar, yang sopan ya :) | Semua komentar akan dimoderasi.
Hendak diskusi dengan penulis, silakan via email di pena_sastra@yahoo.com. Terima kasih